Jumat, 19 Februari 2010

UU Penodaan Agama Jangan Matikan Agama


INILAH.COM, Palu, 13 Februari 2010 - Undang-undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penodaan Agama tengah diuji materi di Mahkamah Konstitusi. Namun, jangan sampai proses tersebut mematikan ekspresi beragama.

Rektor Universitas Islam Alkhairaat (Unisa) Palu, Sulawesi Tengah (Sulteng) mengatakan, undang-undang tentang pencegahan penodaan agama itu tetap dibutuhkan. Hanya saja jangan sampai mematikan aspirasi dan ekspresi umat beragama.

"Yang kita jaga jangan sampai undang-undang itu dijadikan alat oleh pemerintah untuk menekan gerakan umat. Dia tetap dibutuhkan, tetapi direlevansikan dengan perkembangan gerakan sosial keagamaan," kata Lukman di Palu, Sabtu (13/2).

Agar pembahasan undang-undang tersebut tidak serampangan, maka MK saat ini melibatkan 60 ahli mengkaji undang-undang tersebut hingga April mendatang. Menurut Lukman, UU tersebut diperlukan sebagai alat pengatur kehidupan beragama di Indonesia, sepanjang tidak membatasi akselerasi pemeluk agama.

"Sama dengan lampu pengatur lalu lintas. Undang-undang juga begitu. Lampu lalu lintas itu dibuat agar tidak mengacaukan lalu lintas. Tapi kan tetap diberi kesempatan agar kendaraan berjalan," ujar Pengurus Besar Alkhairaat ini.

Demikian halnya dengan undang-undang penodaan agama, jangan sampai menghalangi ekspresi keagamaan seseorang atau kelompok. Intinya, lanjut Lukman, UU tersebut harus menyentuh aspek umat beragama. Ia mengatakan, dirinya tidak mau dikotomi antara apakah perlu dicabut atau tidak.

Mahkamah Konstitusi (MK), lanjut Lukman, harus mendesain undang-undang tersebut agar semua pihak terakomodasi baik yang ingin mencabut undang-undang itu ataupun yang ingin tetap dipertahankan. "Bagaimana agar substansi undang-undang itu mewakili dua kepentingan ini," imbuhnya.

Menurut Lukman, terjadinya penodaan agama bisa saja terjadi karena berbagai faktor. Bisa jadi karena ritual yang berbeda-beda atau karena ada kepentingan yang ikut membonceng di belakangnya. "Ditunggangi oleh kepentingan tertentu, bisa saja oleh penguasa atau politisi dan sebagainya," terangnya.

Lukman menilai, meski prokontra penolakan terhadap revisi undang-undang tersebut terus menggelinding, tidak memberi dampak besar. Hanya saja, perlu diwaspadai jangan sampai ada isu suku ras dan agama (sara) yang bermain di dalamnya.

"Solusinya, tokoh-tokoh agama perlu duduk bersama dalam rangka mengakomodasi semua kepentingan agar ada titik temunya," tuturnya.

Sebelumnya, dari kalangan tokoh Kristen Protestan di Poso, Pdt Rinaldy Damanik mengatakan, undang-undang tentang pencegahan penodaan agama tidak diperlukan jika semua umat sadar dalam beragama. "Penodaan terhadap agama itu tidak akan terjadi kalau semua umat beragama sadar. Semua agama kan menganjurkan perdamaian," jelas Damanik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar