Sabtu, 06 Februari 2010

Gusde Menjaga Taksu Santrian


KOMPAS, 6 Februari 2010 - Dari ratusan hotel dan fasilitas pariwisata ternama di Pulau Bali, yang benar-benar dimiliki dan dijalankan oleh warga lokal dapat dihitung dengan jari. Salah satunya adalah Grup Santrian. Melalui tiga hotelnya—Griya Santrian, Puri Santrian, dan The Royal Santrian—grup itu bertahan dan bersaing.

Melihat dari dekat sepak terjang kontemporer Grup Santrian, orang akan tertuju pada sosok Ida Bagus Gede Sidharta Putra atau lebih dikenal dengan Gusde. Bersama seorang kakak dan dua adik laki-lakinya, ia tidak sekadar harus mempertahankan dan mengembangkan usaha yang dirintis ayahnya, Ida Bagus Tjethana Putra, pada awal ta- hun 1968. Pria santun yang duduk sebagai direktur akomodasi di Santrian ini juga sekaligus mendapat tugas menjaga taksu atau roh sekaligus pedoman Santrian.

”Taksu itu berarti ke dalam dan keluar. Tetap menjaga jati diri kebalian kami yang ramah, santun, tulus dalam melayani para tamu dengan mayoritas sumber daya lokal yang kami punya, tapi juga sekaligus percaya diri untuk keluar, bersaing dengan usaha serupa yang juga jaringan internasional,” kata Gusde di Restoran Puri Santrian, awal Januari 2010.

Pantai Sanur adalah dasar bisnis Grup Santrian. Berada di salah satu pantai terindah di Bali, di pesisir timur, sehingga terkenal dengan pemandangan Matahari terbit, dengan daerah tutupan hijau yang relatif rapat, Griya Santrian dan Puri Santrian mendapat hati di kalangan pelancong Eropa. Benua yang terkenal sebagai pemasok pelancong yang suka mengunjungi satu tempat berkali-kali (return guests). Berkapasitas 300 kamar, kedua hotel resor itu mampu membukukan penjualan hingga 86 persen sepanjang tahun 2009. Kondisi itu termasuk tinggi dibandingkan dengan pencapaian hotel-hotel besar di Sanur.

Di kawasan itu pula, Santrian menjalankan bisnis restoran, angkutan pariwisata, arung jeram, dan seawalker. Belakangan, atraksi berjalan kaki menikmati pemandangan bawah laut Sanur dengan peralatan berupa helm khusus menjadi salah satu maskot pariwisata di kawasan itu. Sebab, atraksi itu hanya ada satu-satunya di Bali dan diklaim di Indonesia.

”Bapak memang peletak dasar bisnis Grup Santrian, kami anak-anaknya tinggal memodifikasi saja. Jika kakak dipersiapkan dengan spesifikasi di bidang perhotelan, saya di bidang manajerial dan pemasaran. Kami memang saling melengkapi sehingga perusahaan ini lebih mantap,” kata Gusde, lulusan sebuah universitas di Amerika Serikat.

Griya Santrian awalnya dibangun dalam bentuk cottage, penginapan sederhana. Waktu itu bersamaan dengan awal-awal pengoperasian Grand Bali Beach, hotel berbintang pertama di Sanur. Ayah Gusde, lulusan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, adalah mantan pegawai Grand Bali Beach.

Griya Santrian terus berkembang hingga bermetamorfosis menjadi hotel dengan 100 kamar. Tahun 1985 Puri Santrian dibangun. Dengan target kelas tamu lebih tinggi dibandingkan Griya Santrian, Puri dan Griya saling melengkapi.

Griya ditujukan untuk tempat berlibur keluarga, sementara Puri terasa pas untuk pasangan. Ciri khas itu tampak dari tagline masing-masing. Tagline Griya adalah charming family resort, sementara tagline Puri berbunyi a tropical paradise resort.

Selepas pulang dari AS, Gusde baru benar-benar terjun ke Grup Santrian. Posisi awalnya adalah asisten manajer di Puri Santrian hingga tiga tahun sebelum dipercaya menjadi general manager hotel itu. Saat itulah dia perlahan tapi pasti membenahi manajerial dan pemasaran hotel-hotelnya.

”Ilmu perhotelan, manajerial, juga pemasaran terus berkembang. Santrian dimulai dengan apa adanya, katakanlah merekrut karyawan tanpa seleksi ketat. Lebih dari 80 persen karyawan kami adalah warga Sanur dan sekitarnya. Itu kami pertahankan dengan cara menambah kecakapan mereka sesuai standar yang diterapkan. Pangsa pasar kami perluas dengan menjaga hubungan bersama penyedia jasa pariwisata maupun secara online,” kata Gusde.

Santrian termasuk dalam jaringan hotel yang sangat memerhatikan kualitas infrastruktur, termasuk lingkungan hidup. Masuk ke kompleks Griya maupun Puri Santrian, para tamu merasa kerasan dengan aneka tumbuhan, kebanyakan asli Bali, di taman-tamannya.

Kualitas Pantai Sanur yang pasirnya putih tetapi sangat rawan abrasi seperti kawasan lain di Bali pun menjadi perhatian utama Gusde bersama pemangku kepentingan lain di kawasan itu. Lewat Yayasan Pembangunan Sanur, dengan Gusde duduk sebagai ketua, upaya menjaga lingkungan sekitar itu menjadi salah satu isu utama. Pergelaran festival pariwisata Sanur Village Festival setiap tahun juga diharapkan ikut menjaga kepariwisataan Sanur secara khusus dan Bali secara umum.

Belakangan, The Royal Santrian yang dibangun di Tanjung Benoa, 4 kilometer timur kawasan elite pariwisata Nusa Dua, Badung, menjadi semacam penegas perjalanan bisnis Gusde dan keluarganya lebih lebar lagi, termasuk secara geografis dari seputaran Sanur.

Vila di pinggir pantai yang baru dibuka mulai Agustus tahun lalu itu ditargetkan bagi pelancong kelas jetset dengan harga sewa kamar 750-1.000 dollar AS (Rp 6,5 juta-Rp 9,5 juta) per malam.

Gusde mengakui, perjuangan untuk bertahan, kemudian menyejajarkan kualitas dan disambung ”menjual” ciri khas pelayanan, tidak mudah. Di tengah jatuh bangun berproses, banyak tawaran, khususnya dari jaringan perhotelan internasional, yang ingin bekerja sama, bahkan membeli jaringan hotelnya.

Dia hanya ingat pesan sang ayah yang kini memilih jadi pendeta Hindu, yakni tetap bertahan dengan kaki sendiri demi pemberdayaan karyawan dan warga sekitar. Saat ini sedikitnya 1.000 karyawan bergantung pada sepak terjang Grup Santrian. Bersama Gusde dan tiga saudaranya, mereka terus menjaga taksu Santrian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar