Selasa, 09 Februari 2010

Dosa, Jika Menyampaikan Aspirasi dengan Kekerasan


Oleh I Ketut Wiana

Wagdustattaskaraccaiwa
dandanaiwa ca himsatah
sahasya narah karta
wijneyah papakrtamah

(Manawa Dharmasastra. VIII.345).

Maksudnya: Ia yang menyampaikan hasratnya dengan kasar dan kekerasan hendaknya dianggap melakukan kesalahan besar dan lebih jahat dari yang memfitnah dari pada pencuri dan ia yang melukai dengan tongkat.

EUFORIA demokrasi dewasa ini memberikan rakyat kebebasan menyatakan pendapat atau aspirasinya. Kebebasan menyatakan pendapat atau aspirasi itu memang salah satu ciri adanya demokrasi. Namun, dalam hidup berdemokrasi juga ada tanggung jawab dan norma-normanya seperti landasan hukumnya, etikanya, dan demokrasi itu adalah cara menyelenggarakan suatu kehidupan bersama. Memang, kata "demokrasi" bermakna pemerintahan rakyat. Umumnya pengamalan demokrasi dalam suatu ketatanegaraan melalui suatu sistem perwakilan karena tidak mungkin seluruh rakyat dapat memerintah secara langsung.

Salah satu wujud penyelenggaraan demokrasi adalah dengan menjamin kemerdekaan rakyat untuk menyatakan pendapat dan aspirasinya. Tata cara menyampaikan aspirasi maupun pendapat sering dilakukan oleh sementara pihak dengan kekerasan. Kata-katanya kasar, disampaikan dengan gejolak emosional, dan sering juga dilakukan dengan pengerusakan terutama fasilitas umum, membakar ban bekas di tengah jalan, menebangi pohon, dll.

Padahal, untuk mendapatkan pohon setinggi dua meter saja sudah susah payah. Pohon seyogianya dilindungi, apalagi kwantitas pepohonan di pertamanan kota dan keberadaan hutan kita sudah semakin menipis. Ada demo yang sampai membuat jalan umum macet, masyarakat ketakutan, berbagai pelayanan publik menjadi amat terganggu.

Kalau dihitung-hitung, sudah banyak kerugian publik ditimbulkan oleh cara demontrasi yang disertai dengan kekerasan seperti itu. Padahal, demo itu sudah ada aturannya yang pada intinya menyatakan tidak boleh dilakukan dengan kekerasan, dengan perilaku kasar dengan kata-kata maupun dengan tindakan perusakan -- yang nyata-nyata merusak harta benda dan perasaan masyarakat.

Kekerasan tidak saja merusak secara langsung yang kena kekerasan, tetapi yang di sampingnya juga akan merasakan dampak negatifnya. Perilaku kasar dengan kekerasan itu secara psikologis menimbulkan vibrasi buruk pada lingkungan rohani. Hal ini dapat merembet pada terganggunya suasana psikologi sosial di sekitarnya. Terlebih jika ditayangkan secara polos kekerasan itu di media televisi, lebih luas lagi dampak vibrasi negatifnya.

Oleh karenanya, demo untuk menyampaikan pendapat maupun aspirasi sebaiknya tidak dilakukan dengan kasar dan keras seperti itu. Sampaikan saja aspirasi dan pendapat kita itu secara baik-baik sesuai dengan aturan menyampaikan pendapat atau demo yang ada. Umpatan dengan menuduh orang seenaknya juga dapat merusak perasaan masyarakat.

Pejabat tinggi tentunya boleh saja dikritik dalam era demokrasi ini. Namun, kritik itu mesti disampaikan dengan bertanggung jawab dalam suasana damai dan dengan etika ketimuran. Kritik itu sesungguhnya untuk membuat orang menjadi baik atau lebih baik dari sebelumnya. Dengan demikian, berbagai hal yang dianggap sebagai suatu masalah akan menjadi terang.

Kritik mestinya disertai dengan berbagai analisa dengan usul-usul alternatif pemecahannya. Masalahpun akan terpecahkan dengan baik dan suasana sosial psikologisnya tetap terpelihara dengan baik, harmonis dan dinamis, menuju keadaan yang semakin baik.

Melakukan kritik membangun adalah tergolong perbuatan dharma karena tujuannya untuk memperbaiki, apalagi yang menyangkut kepentingan publik. Dalam Manawa Dharmasastra VIII.15 ada dinyatakan dalam sebaris sloka-nya, "Dharmoraksati raksatah". Maksudnya, siapa melindungi dharma, maka ia juga akan dilindungi oleh dharma. Kalau benar-benar tujuan kita memperbaiki keadaan negara, bangsa atau masyarakat berdasarkan dharma, tentunya hal itu amatlah mulia. Namun, tujuan yang mulia itu jangan dilakukan dengan cara-cara melanggar dharma seperti hukum, etika dan moral.

Kritik dapat disebut sebagai pengamalan dharma kalau bertujuan mulia dan disampaikan dengan cara-cara yang sesuai dengan aturan yang berlaku. Kritik hendaknya berhasil memperbaiki keadaan secara menyeluruh, baik substansi yang dikritik maupun mereka yang dikritik. Apalagi misalnya mereka yang dikritik itu sadar dan tidak tersinggung pada pengkritik.

Saling kritik dengan tujuan untuk saling memperbaiki dalam suatu persahabatan sesungguhnya itulah persahabatan yang baik. Resi Vyasa menyatakan bahwa persahabatan yang tidak didasari oleh rambu-rambu etika moral yang dilandasi oleh daya spiritual dapat menimbulkan banyak keburukan.

Perilaku kasar sebagai wujud kekerasan itu oleh sloka Manawa Dharmasastra yang dikutip di awal tulisan ini menjadi sangat logis. Yang kena akibat negatif yang ditimbulkan oleh perilaku kasar sebagai wujud kekerasan itu tidak saja yang tertimpa kekerasan itu juga yang ada di sekitarnya. Karena itu, para pemimpin massa dalam masyarakat janganlah mudah terpancing untuk bertindak brutal dalam menyampikan aspirasi atau pendapat.

Marilah sadari bersama cara pemecahan dengan kekerasan demikian itu justru akan menimbulkan masalah baru sedangkan masalah pokoknya juga tidak akan terselesaikan. Pada setiap kenyataan yang dianggap tidak baik dan tidak benar, marilah lakukan analisa dengan mengedepankan dasar-dasar ilmu pengetahuan untuk mencari solusi.

Resi Patanjali mengajarkan adanya lima tahap dalam memecahkan suatu masalah. Tarka, mari kita perdebatkan persoalan yang kita ingin pecahkan. Nirwitarka, kita renungkan sedalam-dalamnya hasil diskusi atau debat tersebut. Sawicara, analisalah hasil Tarka dan Nirwitarka itu. Selanjutnya Nirwicara, renungkan kembali hasil Sawicara tersebut. Terakhir Samanta, ambillah keputusan setelah melalui empat proses tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar