Jumat, 05 Februari 2010

MK Diminta Bijaksana Putuskan UU Penodaan Agama

Padang,(ANTARA), 4 Pebruari 2010 - Ulama Sumatera Barat (Sumbar) meminta Mahkamah Konstitusi (MK) supaya bijaksana dalam memutuskan uji materi Undang-Undang Penodaan Agama yang dimohonkan tujuh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) tersebut.

"Kita khawatir kalau putusan terhadap uji materi UU Penodaan Agama kurang tepat atau pas bagi masyarakat luas bisa menimbulkan resistensi terhadap kehidupan beragama di Indonesia," kata Ketua Bidang Dakwah, Komunikasi dan Informasi Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumbar, Dr. Duski Samat, kepada ANTARA ketika diminta tanggapannya di Padang, Kamis.

Menurut guru besar IAIN Imam Bonjol Padang itu, masyarakat negeri ini masih membutuhkan UU Nomor 1/PNPS/1965 tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama dan tak umat beragama yang dirugikan hak-haknya.

Jadi, bisa saja akan muncul atau timbul penolakan dari masyarakat umum kalau permohonan yang diajukan pemohon diterima MK atau psikologi keagamaan umat di negeri ini.

Sebab, kedewasaan masyarakat Indonesia dalam beragama masih kurang dan diperkirakan belum sampai 30 persen yang bisa hidup dengan sistem demokrasi kebebasan tersebut.

Justru, diminta MK untuk mempertimbangkan psikologi umat beragama dalam mengambil keputusan akan uji materi UU Penodaan Agama itu.

"Jika terjadi keputusan yang berujung merevisi atau menghilangkan satu pasal saja dalam UU tersebut, bisa berujung konflik yang berkepanjangan di tengah kehidupan masyarakat beragama. Ini yang kita khawatirkan," katanya.

Mantan Ketua Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII) Sumbar, Buya Mas`oed Abidin, berpandangan upaya uji materi di MK terhadap UU Penodaan Agama boleh-boleh saja, menginat tugas MK memang untuk itu.

Namun, diharapkan pihak MK harus lihat eksistensi umat beragama di Indonesia, dimana yang mayoritas umat Islam. Makanya putusan MK harus arif.

Menurutnya, umat Islam selama ini selalu dirugikan, bahkan harus harus memikul beban toleransi sangat besar, dan mungkin juga karena jumlahnya besar.

Jadi, toleransi Islam juga besar sejak penghapusan tujuh kata di Mukadimah UU 1945 atau sejak 63 tahun lalu. Namun, hingga kini kini pemurtadan sampai ke dusun dan kaki bukit. Tapi, anehnya jika umat Islam bereaksi dianggap tidak toleransi dan Umat lain tidak terlalu begitu.

"Dilihat dari sisi tugas MK cukup berat, tapi asal tidak belah bambu," katanya sembari mengkritisi LSM juga ada yang tulus bekerja tulus untuk bangsa dan negara, tapi ada yang diboncengi kepentingan lainnya.

Jadi, saat ini susah untuk menebak karena alasan yang selalu dikedepankan liberalisasi dan demokratisasi dalam kerangkan nasionalisasi rasional.

Tujuh LSM yang mengajukan permohonan,yaitu Perkumpulan Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (IMPARSIAL), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Perkumpulan Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI).

Perkumpulan Pusat Studi Hak Asasi Manusia dan Demokrasi (Demos), Perkumpulan Masyarakat Setara, Yayasan Desantara (Desantara Foundation), dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Sedangkan pemohon pribadi yaitu KH. Abdurrahman Wahid, Prof. DR. Musdah Mulia, Prof. Dawam Rahardjo dan KH. Maman Imanul Haq. Mereka memberi kuasa kepada Tim Advokasi Kebebasan Beragama (TAKB).

Para pemohon berargumen bahwa Pasal 1, Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 3, dan Pasal 4 dari UU No 1/PNPS/1965 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat 91), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 28I ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 29 ayat (2) UUD 1945.

Menurut para pemohon, pasal-pasal dalam UU No 1/PNPS/1965 menunjukkan adanya kebijakan yang diskriminatif antaragama, bertentangan dengan prinsip toleransi, keragaman, dan pemikiran terbuka, membatasi serta bertentangan dengan jaminan kebebasan beragama seperti yang terdapat dalam UUD 1945.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar