Rabu, 06 Januari 2010

Ruang Dialog Museum Bali

SELASA, 8 Desember 2009 mendatang, Museum Bali memperingati HUT ke-77. Museum yang dibuka oleh Belanda pada 8 Desember 1932 ini, selain menjadi sarana pelestarian warisan budaya, juga telah membuka ruang dialog budaya leluhur yang sangat berharga bagi pewarisnya dewasa ini.
---

Berdasarkan catatan sejarah, pada permulaan abad ke-20, Belanda telah menjajah Bali setelah menghadapi perlawanan yang sangat heroik, di antaranya dalam Puputan Badung (1906) dan Puputan Klungkung (1908). Pihak Belanda mungkin mulai berhitung bahwa dengan menguasai Bali yang mempunyai kekayaan budaya yang sangat unik, berarti Belanda telah membuka peluang yang amat besar bagi bangsa-bangsa Eropa untuk mengunjungi Bali, baik sebagai pedagang maupun sebagai wisatawan, dan lain-lainnya.

Tentu saja mereka mempunyai kepentingan yang sagnat beragam, yang kemudian dapat memberikan dampak buruk kepada kelestarian kebudayaan dan kehidupan masyarakat Bali. Sejak itu, pihak Belanda mulai merasa ketakutan jika nanti hubungan masyarakat Bali dengan para pendatang dari Eropa yang mempunyai latar belakang sosial-budaya berbeda, akan dapat mengakibatkan terjadinya pemiskinan atau kerusakan budaya Bali. Agaknya, Belanda tak ingin jika sekiranya Bali menerima dampak buruk semacam itu dan Belanda tidak mau kehilangan Bali.

Karena ketakutan itu, maka pada 1910, W.F.J. Kroon, Asisten Residen Bali Selatan mencetuskan rencana pembangunan Museum Etnografi untuk pelestarian budaya setelah mendapat dukungan dari Th. A.Resink. Ternyata kemudian gagasan ini disambut baik oleh para cendekiawan, budayawan, seniman dan mendapat dukungan juga dari para raja se-Bali. Untuk mewujudkan gagasan ini, W.F.J. Kroon menugaskan Curt Grundler, arsitek Jerman yang secara kebetulan berada di Bali untuk menyusun perencanaan pembangunan sebuah museum bersama-sama dengan para undagi Bali antara lain ialah I Gusti Ketut Rai dan I Gusti Ketut Gede Kandel dari Denpasar.

Akhirnya, melalui kerjasama ini diputuskan untuk membangun sebuah museum dengan meracik bentuk-bentuk arsitektur pura dan puri, seperti yang dapat disaksikan dewasa ini bediri tegak di pusat Kota Denpasar.

Kukuhkan Vibrasi

Pembangunan museum ini memang mendapat bantuan dari raja-raja Bali, yaitu berupa bangunan gedung-gedung untuk keperluan pameran yang disebut Gedung Tabanan, Gedung Karangasem dan Gedung Buleleng sesuai dengan nama-nama penyumbangnya, yang sekaligus juga mewakili gaya arsitektur Bali Selatan, Bali Timur dan Bali Utara. Gedung-gedung ini dengan segala kelengkapannya, seperti Bale Bengong, Bale Kulkul, candi bentar dan candi kurung telah mengukuhkan vibrasi budaya museum yang menyimpan sejumlah besar karya-karya budaya masyarakat Bali.

Lokasi museum ini memang memancarkan kekuatan budaya Bali karena letaknya berdampingan dengan Pura Jagatnatha, Monumen Puputan Badung dengan tamannya sebagai warisan sejarah yang monumental. Kharisma kultural juga datang dari Catus Patha dengan patung Brahma Catur Muka dan lain-lainnya, yang secara keseluruhan menjadi kawasan cultural heritage yang penting.

Pembangunan Museum Bali ternyata tidak bebas dari berbagai kesulitan, antara lain dalam pembiayaan. Sehingga, museum ini baru dapat dibuka untuk umum pada 8 Desember 1932 dengan nama Bali Museum di bawah asuhan Yayasan Bali Museum. Dalam perkembangan selanjutnya, pada 1966 Bali Museum diserahkan kepada Pemerintah Pusat, yaitu Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Lalu, ketika otonomi mulai dilaksanakan, museum ini diserahkan pengelolaannya kepada Pemerintah Provinsi Bali dan sekarang menjadi Unit Pelaksana Teknis Dinas Kebudayaan.

Walaupun museum ini telah mengalami perubahan, tetapi segala kegiatan dapat dijalankan seperti biasa dan hingga dewasa ini telah tercatat 14.209 koleksi benda budaya dan 1.000 buah di antaranya dipajang dalam pameran gedung-gedung Tabanan, Gedung Buleleng dan Karangasem. Kenyataan ini menunjukkan bahwa sebagian besar koleksi masih disimpan di dalam ruang penyimpanan yang patut mendapat perawatan sebagaimana mestinya supaya terhindar dari kerusakan yang tidak diharapkan.

Museum Bali, tentu tidak berbeda dengan museum-museum lainnya, adalah salah satu institusi kebudayaan yang mempunyai posisi yang penting dalam pembangunan, khususnya dalam pembangunan kebudayaan, baik dalam skala nasional maupun dalam skala lokal (daerah). Posisi semacam ini, ke depan tampaknya akan menjadi semakin penting dan patut mendapat perhatian yang serius karena derasnya arus budaya global yang tidak lagi terhalang oleh kesulitan-kesulitan geografis berkat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama teknologi transportasi, informasi dan komunikasi.


Sosio Kultural


Dalam pembangunan Bali, terutama dalam pembangunan pariwisata budaya, Museum Bali menyandang fungsi sosio kultural yang sangat penting, karena kebudayaan adalah satu-satunya kekayaan Bali yang tidak ternilai harganya, yang telah ditetapkan menjadi modal utama seluruh pembangunan Bali. Dalam hal ini, yang patut mendapat perhatian adalah Bali berada di tenah-tengah gemuruhnya pengaruh budaya global yang tidak mungkin dihentikan. Di samping itu, perlu juga dicermati baik-baik bahwa Bali sudah tidak homogen lagi, tetapi sudah berjalan menuju masyarakat multikultural, sebagai kampung dunia atau desa internasional.

Barangkali tidak berkelebihan jika dikemukakan fungsi yang disandang oleh Museum Bali antara lain, (a) sebagai wadah penyelamatan, pelestarian dan pemanfaatan warisan budaya dan nilai-nilai yang dikandungnya, (b) sebagai pusat dokumentasi karya-karya budaya unggulan (masterpiece), (e) menjadi pusat studi karya-karya budaya yang mengandung berbagai informasi, pesan-pesan dan simbul-simbul kehidupan masyarakat.

Juga, (d) sebagai sarana pendidikan, terutama bagi generasi muda dalam upaya nation and character building untuk membangun masa depan berbasis sejarah sendiri, (e) menjadi tujuan wisata sebagai tempat rekreasi (tamasya ke masa silam), (f) media dialog budaya atau diplomasi budaya antarbangsa untuk membangun dunia yang damai dan bersahabat, dan (g) untuk menggugah inspirasi dan kreativitas para budayawan atau para seniman.

Harus diakui bahwa dalam beberapa tahun belakangan ini pendidikan di Indonesia mencapai kemajuan yang pesat seperti yang tampak di daerah Bali. Sejumlah sekolah telah berpacu untuk meraih standar internasional dengan konsentrasi mata pelajaran eksakta, sehingga mata pelajaran sosial atau noneksakta seperti sejarah daerah atau sejarah kebudayaan daerah, bahasa daerah (Bahasa Bali) tampaknya kurang diperhitungkan sebagai unsur-unsur penting untuk menghasilkan pemuda-pemuda atau generasi muda yang cerdas, terampil dan maju, tetapi memiliki basis sosial-budaya dari sejarah nenek moyangnya sendiri.

Baru-baru ini, ada juga berita dari surat kabar lokal bahwa ada beberapa sekolah di Denpasar yang berniat memasukkan muatan lokal ke dalam kurikulum sekolahnya. Pemikiran semacam ini memang patut dihargai dan dipertimbangkan secara cermat. Dalam hal ini, barangkali Museum Bali dapat turut serta dalam pengisian muatan lokal seperti sejarah kebudayaan daerah Bali dan lain-lainnya. Barangkali dalam usia 77 tahun Museum Bali, pemikiran mengenai muatan lokal dapat dicermati bersama semua pihak sebagai salah satu upaya melestarikan kebudayaan Bali ke depan. (I Made Sutaba)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar