Rabu, 06 Januari 2010

Perayaan Tumpek Krulut Pemujaan Bunyi-bunyian Menuju Harmonisasi Alam

Sebulan setelah Tumpek Kuningan, umat Hindu di Bali mengenal rerahinan Tumpek Krulut. Sabtu 28 Nopember 2009 ini, umat kembali merayakan Tumpek Krulut. Apa makna yang bisa dipetik dari rerahinan ini?

DOSEN IHDN Denpasar Ketut Wiana mengatakan Tumpek Krulut merupakan hari kasih sayang. Kasih sayang itu diwujudkan dalam bentuk keindahan, dalam hal ini suara gamelan. Yang dipuja dalam Tumpek Krulut adalah Ida Sanghyang Widi Wasa dalam manifestasinya sebagai Dewi Semara Ratih. Karena itu banten yang dihaturkan adalah sesayut lulut asih.

Hal yang sama dikatakan Dekan Fakultas Dharma Duta IHDN IGN Sudiana. Tumpek Krulut itu berasal dari kata lulut yang artinya hati menyatu dengan keindahan (sundaram) sehingga pikiran menjadi damai. Dalam konteks itu, kita sesungguhnya perlu seni hiburan untuk menyeimbangkan hidup.

Sementara dosen FS Unud I.B. Jelantik mengatakan, pada Tumpek Krulut, umat meyakini Tuhan dalam prabawa-nya sebagai Siwanataraja turun ke bumi untuk menarikan 36 tatwa dalam rangka menyejahterakan buana agung dan buana alit. Untuk mengiringi tarian itu, umat memainkan gamelan atau gong. Di Kota Denpasar, sejak beberapa tahun lalu, ada prosesi pemaknaan Tumpek Krulut dengan menampilkan beragam kesenian, tari dan tabuh. Pada Tumpek Krulut, seluruh perangkat gong dibunyikan untuk menciptakan santha rasa atau rasa damai. Dengan adanya rasa kedamaian, diharapkan tercipta kesejahteraan lahir dan batin.

Pengamat budaya dan agama Ida Bagus Agastia mengatakan di Bali konsep suara itu penting, sehingga ada istilah wija aksara suci. Dari situ muncul peradaban suara sehingga dikenal genta, sunari, pinekan, kulkul dan berbagai jenis gamelan berbahan kerawang, besi maupun bambu. Selain peradaban suara, di Bali juga dikenal peradaban warna dan rasa. Sementara ritual Tumpek Krulut, berkaitan dengan peradaban suara dalam hal ini gamelan atau gong. Berkaitan dengan suara, griengan suara kumbang juga menjadi perhatian para kawi pada zaman lampau yakni pada sasih Kapat yang dikenal dengan tradisi Ngapat. Purnama Kapat dijadikan kesempatan yang baik untuk nyastra, menulis dan mendiskusikan karya-karya indah. Para pujangga biasanya pergi ke pantai dan gunung untuk menangkap keindahan alam, menyimak kicauan burung, deburan ombak, mengamati indahnya kelopak bunga, mendengar griengan suara kumbang dan sebagainya. Itu semua ditangkap kemudian dituangkan dalam bentuk karya sastra.

Sementara itu, Kabag Humas Kota Denpasar Erwin Suryadarma Sena mengatakan setiap Tumpek Krulut Pemkot Denpasar merayakan rerahinan Tumpek Krulut yang dipusatkan di Lapangan Puputan Badung. Perayaan ini sebagai bentuk revitalisasi spirit Tumpek Krulut. Kata Erwin, makna pemujaan Tumpek Krulut tidak lain adalah mendalami spirit tetabuhan yang melahirkan keteduhan dan kekuatan. Nada dan bunyi memiliki kekuatan supranatural yang luar biasa, bahkan diyakini merupakan kekuatan yang utama. Dalam konteks pemujaan keharmonisan alam bisa dicapai dengan membangkitkan kekuatan Siwa agar bergerak. Kreasi gerak Siwa karena alunan nada ini dikenal Siwanataraja. Secara filsafat pemujaan bunyi-bunyian saat Tumpek Krulut mengandung makna pengendalian Tri Guna (satwam, rajas, dan tamas) serta Tri Marga yakni dharma, artha dan kama.

Bila dipahami lebih jauh alunan nada-nada merupakan proses menuju harmonisasi alam. Guna mewujudkan harmonisasi alam ini perlu dilakukan perenungan dan memohon kepada Tuhan dalam manifestasinya sebagai Siwa. (Bali Post)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar