Sabtu, 09 Januari 2010

Dilindungi, Dharma Melindungi


Oleh : Robert E. Svoboda

Teman-teman baik mengajak saya ke Siri Fort Auditorium New Delhi menonton konser memperingati 50 tahun kunjungan Dr. Martin Luther King ke India.

Ketika dalam pertunjukan sore itu, para tokoh musik di panggung menyanyikan ‘We Shall Overcome’ saya dengan riang ikut serta, tapi dalam bahasa Hindi: ‘Hum Honge Kaamyaab’. Ketika saya bernyanyi, saya teringat beberapa orang dengan siapa saya mengasosiasikan lagu itu, antara lain Dr. king, dan mentor saya, Aghori Vimalananda.

Dalam bahasa Sanskrit, “dharma” secara literal berarti: itu yang membangun, itu yang kokoh. Sering disamakan dengan sraddha agama, dharma seorang manusia adalah dia lahir untuk melakukan apa, bagi semuanya dharma akhirnya adalah svadharma, jalan pribadi individual melalui eksistensi. Dr. King, misalnya, lahir untuk membantu membimbing Amerika Serikat kepada pembebasan dari diskriminasi ras. Sekalipun ini mungkin bukan tujuan asli hidupnya, setiap langkah membawanya kepada pertemuan dengan nasibnya. Salah satu dari langkahnya yang paling penting adalah perjalanannya ke India, dan perkenalannya dengan dharmanya Gandhiji.

Orang-orang menjalani dharma mereka dengan mengikuti kompas batinnya yang mengarahkan pengembaraan mereka melalui hutan belantara dunia, seperti sistem GPS, yang diberikan kepada kita oleh karma sebelum kita lahir yang membawa kita ke dalam perwujudan eksistensi kita. Ketika anda bertindak sesuai dengan perintah dari dharma pribadi anda, Tuhan akan membantu anda, bahkan ketika dharma anda berentangan dengan konvensi-konvensi atau prasangka-prasangka dari yang lain. upaya untuk menyimpang ke jalan yang melanggar hakekat diri anda dan anda akan menemukan dunia melawan upaya anda. “Dharmo rakshati rakshitah” (dilindungi, dharma melindungi), kata Manu. Bagian kedua yang lebih jarang dikutip menambahkan: “Dihancurkan, dharma menghancurkan”.

Hidup akan lebih mudah bila seorang anak muncul di dunia dengan dharmanya tercetak di dahi. Tapi karena tidak demikian halnya, kita masing-masing harus menemukan dharma bagi diri kita sendiri. Idealnya para orang tua dan guru kita mengajari kita secara seksama ketika kita tumbuh, dan melatih kita seharusnya, sekalipun itu berbeda dalam rincian yang penting dari jalan hidup yang mereka tempuh. Tapi itu hanya cita-cita. Dalam praktek, kebanyakan orang dewasa mencoba memaksa anak-anak untuk mengikuti jalan yang mereka pilih bagi diri mereka, terlepas apakah jalan itu memang benar untuk anak-anak itu. Mengikuti satu dharma yang bukan dharma anda mungkin tampak tidak merugikan dalam jangka pendek, tapi dalam perjalan hidup tak dapat dihindarkan ia akan merusak anda dalam beberapa cara. Shri Krishna menekankan ini ketika Dia memberi tahu Arjuna, “Svadharme nidhanam sreshtam, paradharme bhayavavah”, yang berarti: adalah lebih baik mengikuti dharma pribadi anda bahkan sampai mati dari pada menjalankan dharma orang lain yang berpuncak pada ketakutan.

Banyak orang takluk pada tekanan untuk menyesuaikan diri, dan jatuh ke dalam kehendak para orang tua dan teman-teman; hanya sedikit yang berani berjalan pada tujuan mereka sendiri, seperti yang dilakukan oleh Vimalananda. Sekalipun lahir di Mumbai dalam masyarakat Vaishnava Gujarati, Vimalananda menolak menyebut dirinya seorang “Hindu”, dengan alasan kata itu tidak ada dalam pustaka suci Sanskerta. Dia menolak konsep “Hinduisme” sebagaimana dia membela konsep dharma: “Ekam sat; vipra bahuda vadanti”, yang berarti semua jalan membimbing kepada Brahman.

Vimalananda tidak percaya dengan sampradaya, yang bersifat sekte atau sektarianisme, tapi dalam “sampradaha” yang adalah pembakaran sempurna. “Bakarlah segala sesuatu dalam diri anda yang menghalangi jalan anda mempersepsikan Kebenaran!” katanya. Ketika didesak, dia akan menjelaskan dirinya sebagai seorang “Vedic”, seorang bhakta bukan dari ritualisme Vedic, bukan pula neo-Vedanta, tetapi lebih sebagai rishi itu sendiri, dengan tapanya yang tidak kenal lelah memungkinkan mereka menerima mantra-mantra Veda melalui persepsi langsung dari Brahman. Vimalananda akan memberi tahu mereka yang datang meminta bimbingan kepadanya untuk “memahat ceruk kecil anda” (carve out your omn niche); untuk menentukan bagi diri mereka sendiri jalan mana kepada Tuhan yang paling baik bagi mereka, dan bergerak sesuai dengan jalan yang dipilih itu. Dalam hidupnya sendiri, Vimalananda menggunakan buku petunjuk bawaan sejak lahir untuk menavigasi kekuasaan realitas duniawi, tetap di jalan yang dia ketahui adalah benar baginya sekalipun ada penolakan tetap dari yang lain.

Mengikuti dharma anda akhirnya akan menyediakan hadiah besar, tetapi itu mungkin tidak membuat hidup anda lebih mudah; sesungguhnya, ia mungkin membuat hidup anda menjadi lebih sulit. Mencoba memuaskan keinginan ayahnya, Bhisma Pitamaha mengucapkan satu sumpah yang akibat-akibatnya tidak dimaksud termasuk penciptaan persaingan antar saudara yang berakhir dalam perang besar Mahabharata, di mana ia sendiri terbunuh. Dibujuk oleh Krishna untuk melindungi dirinya sendiri dan saudara-saudaranya, Yudhisthira dengan sengaja menipu, Drona, gurunya untuk membantu Arjuna membunuhnya, mahapataka yang paling buruk atau dosa besar.

Sekalipun Karna tahu bahwa Duryodhana mengikuti jalan salah, dia tidak dapat meninggalkannya. Sebaliknya, ia memerangi saudaranya sedarah dan meninggal karena tetap setia kepada satu-satunya orang yang memperlakukan dia sebagai seorang saudara.

Para pahlawan seperti Karna siap untuk mati ketika melaksanakan tugas mereka dari pada berpaling untuk melindungi hidupnya sendiri. Pejuang revolusioner Mexico, Emiliano Zapata, berkata begini: “Aku lebih suka mati di atas kakiku dari pada hidup di atas lututku.” Kaum teroris pasti percaya diri mereka melakukan kewajibannya, tetapi sekedar keyakinan bukanlah dharma, karena terorisme melibatkan pengorbanan hidup orang-orang lain yang tidak bersalah, dan dharma kadang-kadang meminta pengikutnya untuk mengorbankan diri mereka sendiri atau orang yang mereka cintai. Seperti Nargis dalam “Mother India” (Ibu India), membunuh putranya sendiri untuk mencegah dia jatuh lebih jauh ke dalam adharma, Bharat Mata (Ibu India) tidak dapat menoleransi adharma di dalam anak-anaknya, apakah mereka Hindu, Muslim, Kristen, Sikh, Jain, Parsi, Jahudi, Bahai, pengikut animis atau lainnya, khususnya ketika ketidakbenaran diberi jubah agama. Penggilingan karma menggiling perlahan, tetapi menggiling dengan sangat halus; kebenaran sudah pasti akan menang, berapa lamapun ia perlu waktu (dan ia mungkin perlu waktu puluhan tahun, atau berabad-abad): “satyam eva jayate.”

Sebagai anak muda, saya belajar menyanyikan ‘We Shall Overcome’ (Kita akan mengatasinya) ketika saya menyaksikan Dr. King berjalan maju bagi kebebasan; tetapi lagu itu hanya menjadi sungguh-sungguh hidup bagi saya ketika saya mendengarkannya dinyanyikan sebagai ‘Hum Honge Kaamyaab’ dalam adegan akhir film Albert Pinto “Gussa Kyon Ata Hai”. Orang-orang seperti Dr. King, Karna, Bhisma dan Vimalananda, berdiri tinggi, mengetahui harga mahal yang harus dia bayar untuk pendiriannya, adalah representasi yang benar dari dari filsafat fundamental India: Pencarian jalan sendiri melalui kehidupan, dan tekad untuk mengikuti jalan itu, apapun yang terjadi, berpeganglah pada jalan anda, dan akhirnya anda akan menang.


* Robert E. Svoboda adalah orang Barat pertama yang pernah tamat dari perguruan tinggi Ayurveda dan berpraktek Ayurveda di India. Dari Time of India 5 April 2009. (Diterjemahkan oleh Sang Ayu Putu Renny/MediaHindu Nopember 2009/Edisi 69).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar