Senin, 01 Februari 2010
Yang Makan Sendiri, Menderita Sendiri
Oleh I Ketut Wiana
Mogham annam vindate apracetah
satyam bravimi vadha it sa tasya
Naryamanam pusyati no sakhayam
kevalagho bhavati kevaladi
(Rgveda.X.117.6)
Artinya: Orang tolol mencari kekayaan dengan sia-sia. Aku mengatakan kebenaran bahwa jenis kekayaan ini benar-benar kematian untuk dia. Dia yang tidak menolong teman-temannya dan sahabat-sahabatnya. Dia yang makan sendirian, menderita sendirian juga.
MENCARI artha atau kekayaan dalam hidup ini memang merupakan salah satu tujuan hidup yang diajarkan oleh agama. Dengan artha, seseorang dapat berbuat dharma lebih nyata, mengendalikan kama atau keinginannya dari wisaya kama menuju sreya kama. Artha pun dicari dan digunakan berdasarkan dharma dan kama yang sreya.
Wisaya kama adalah keinginan untuk mengumbar hawa nafsu. Sedangkan sreya kama adalah keinginan yang mulia untuk selalu meletakkan keinginan berdasarkan dharma. Keinginan yang disebut sreya kama inilah juga disebut ista. Cara mencari kekayaan dan menggunakan kekayaan itulah yang sering tidak diperhatikan. Kekayaan itu hendaknya juga dipakai untuk membiayai upaya untuk mengembangkan keinginan yang mulia atau sreya kama.
Sarasamuscaya 262 menyebutkan, artha itu penggunaannya dibagi tiga -- sebagai sarana untuk mengamalkan dharma, (sadhana rikasiddhaning dharma), untuk mengembangkan keinginan mulia (sadhana rikasidhaning kama), dan untuk mengembangkan artha itu kembali agar terus berkembang (sadhana rikasidhaning artha).
Dewasa ini, banyak pihak mencari kekayaan yang sesungguhnya sia-sia. Sarasamuscaya 265 dan 266 menyatakan ada tiga cara mendapatkan artha yang dilarang yaitu anyaya artha (uang yang diperoleh dengan cara pemaksaan dengan kekerasan dan kasar), apariklesa artha (uang yang didapatkan dengan cara melakukan penggelapan seperti memalsu kwitansi, mengadakan proyek fiktif, memalsu barang baik kualitas maupun kuantitasnya), dan artha kasembahing satru (uang pemberian musuh seperti uang sogokan misalnya).
Ada birokrat dan konglomerat berkolusi untuk memperkaya diri. Setelah mereka kaya, bukan untuk mengembangkan dharma, artha dan kama secara seimbang, namun kekayaan yang mereka peroleh justru dipakainya mengembangkan kekayaan semata untuk dirinya sendiri. Karyawan dan buruh yang mereka ajak bekerja untuk mengembangkan kekayaannya itu justru diperas pikiran, waktu dan tenaganya. Mereka mendapatkan gaji atau upah sangat jauh dari keadilan.
Kehidupan pengusaha dan penguasa kalau dibandingkan dengan pegawai dan buruh, pada umumnya sangat senjang. Sekali-sekali memang mereka ber-dana punia ke tempat-tempat suci, ke panti asuhan, panti jompo, memberikan beasiswa dll. Namun banyak juga di antara mereka melakukan itu untuk tujuan promosi atau sebagai media kampanye dan sok pamer agar mereka dinilai orang bermoral yang penuh kearifan.
Ada juga birokrat mempermainkan uang rakyat yang dikuasainya untuk sok bermoral. Uang rakyat dipermainkan untuk di-dana-punia-kan ke berbagai tempat suci dan badan-abdan sosial lainnya. Hal itu dilakukan agar orang memandang dia sangat bermoral dan sangat berperikemanusiaan. Kiat itu dilakukan untuk menarik simpati rakyat demi melapangkan jalan bagi mereka mencari kekayaan yang lebih banyak lagi.
Pada zaman reformasi ini, konglomerat dan birokrat yang demikian itu satu persatu tumbang menerima pahala dari perbuataannya. Demikianlah orang yang hanya mencari kekayaan yang sia-sia itu sesungguhnya mengubur dirinya sendiri dalam kekayaan tersebut. Orang yang demikian itu sesungguhnya mencari kekayaan dengan cara yang tolol sebagaimana disebutkan dalam mantra Rgveda di awal tulisan ini.
Karena itu, kalau kita maknai lebih dalam makna mantra Rgveda tersebut, carilah kekayaan dengan cara yang benar menurut hukum positif dan hukum agama. Pergunakanlah kekayaan yang diperoleh dengan cara yang seimbang dan adil. Perhitungkanlah dengan adil pikiran, tenaga, waktu pengorbanan pada SDM yang diajak bekerja mengembangkan usaha sampai mencapai keuntungan tertentu.
Modal yang dikeluarkan oleh pengusaha, pikiran, tenaga, waktu dan pengorbanan lainnya yang dikeluarkan oleh karyawan haruslah ditimbang dengan adil. Kalau kita menghitung hal itu dengan adil, setelah ada keuntungan tentunya akan adil juga penggunaan keuntungan tersebut.
Pengusaha, karena berkuasa pada perusahaannya, sering hanya melihat dengan sebelah mata nasib karyawan yang bekerja dalam perusahaannya itu. Padahal pengusaha apapun pasti terkait dengan karyawan, dengan masyarakat sekitar dan pemerintah atau negara. Tanpa semua itu, tidak ada suatu usaha yang dapat eksis dalam suatu kegiatan bisnis.
Sesungguhnya, dengan hidup sederhana saja seorang pengusaha atau penguasa atau birokrat sudah memiliki nilai sosial. Kelebihan kekayaannya yang disimpan di bank saja sudah bernilai sosial ekonomi luas karena uang yang terkumpul bank akan disalurkan oleh bank ke sumber-sumber ekonomi potensial menuju ekonomi yang secara riil meningkatkan produksi yang dibutuhkan masyarakat, membuka lapangan kerja, memberi pajak untuk negara.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar