Kamis, 11 Februari 2010
Uji Materiil UU Penodaan Agama: Pemohon Bersikukuh Punya Legal Standing
VIVAnews, 4 Februari 2010 - Meski banyak yang mempertanyakan syarat kedudukan hukum (legal standing) pemohon uji materi UU No. 1 PNPS tahun 1965, salah satu pemohon dari Perhimpunan Badan Hukum Indonesia (PBHI) Syamsudin Rajab bersikukuh bahwa dirinya punya legal standing.
"Tentu itu tidak benar," kata dia ketika memberi tanggapan dalam persidangan uji materi Undang-undang UU Nomor 1 PNPS tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama di Mahkamah Konstitusi (MK) Jakarta, Kamis, 4 Februari 2010.
Sebelumnya, Majelis Ulama Indonesia mempersoalkan legal standing pemohon karena bukan berasal dari organisasi keagamaan. Syamsudin mengaku, PBHI bercita-cita mewujudkan negara hukum sesuai dengan konstitusi. "Karena itu kami tidak mengajukan yang kaitannya dengan agama," tambah dia.
Syamsudin menegaskan, yang diajukan uji materi adalah soal undang-undang yang berkaitan dengan penodaan agama. "Pengalaman kami, uji materi itu terbuka," kata dia.
Dia menambahkan, beberapa kali pihaknya mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi dan diterima oleh Mahkamah. "Karena kami bercita-cita menegakkan negara hukum," ujar Syamsudin.
Pemerintah, baik Menteri Agama Suryadharma Ali maupun Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar menyatakan bahwa UU no 1 PNPS tahun 1965 demokratis. "Itu butuh analisa lebih jauh termasuk bukti yang bisa kita anggap benar," kata dia.
Hal tersebut bertentangan dengan pendapat Syamsudin yang beranggapan bahwa undang-undang tersebut tidak demokratis.
Persidangan uji materi ini, menurut rencana akan dilanjutkan Rabu pekan depan. Rencananya, giliran Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Konferensi Wali gereja Indonesia, dan Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia didengar keterangannya.
Sementara itu, ahli dari pemohon direncanakan hadir antara lain Franz Magnis Suseno, Ahmad Syafii Aarif, dan Sardy. "Arswendo Atmowiloto akan kami hadirkan sebagai saksi," kata Uli Parulian Sihombing, kuasa hukum pemohon di akhir persidangan.
"Tentu itu tidak benar," kata dia ketika memberi tanggapan dalam persidangan uji materi Undang-undang UU Nomor 1 PNPS tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama di Mahkamah Konstitusi (MK) Jakarta, Kamis, 4 Februari 2010.
Sebelumnya, Majelis Ulama Indonesia mempersoalkan legal standing pemohon karena bukan berasal dari organisasi keagamaan. Syamsudin mengaku, PBHI bercita-cita mewujudkan negara hukum sesuai dengan konstitusi. "Karena itu kami tidak mengajukan yang kaitannya dengan agama," tambah dia.
Syamsudin menegaskan, yang diajukan uji materi adalah soal undang-undang yang berkaitan dengan penodaan agama. "Pengalaman kami, uji materi itu terbuka," kata dia.
Dia menambahkan, beberapa kali pihaknya mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi dan diterima oleh Mahkamah. "Karena kami bercita-cita menegakkan negara hukum," ujar Syamsudin.
Pemerintah, baik Menteri Agama Suryadharma Ali maupun Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar menyatakan bahwa UU no 1 PNPS tahun 1965 demokratis. "Itu butuh analisa lebih jauh termasuk bukti yang bisa kita anggap benar," kata dia.
Hal tersebut bertentangan dengan pendapat Syamsudin yang beranggapan bahwa undang-undang tersebut tidak demokratis.
Persidangan uji materi ini, menurut rencana akan dilanjutkan Rabu pekan depan. Rencananya, giliran Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Konferensi Wali gereja Indonesia, dan Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia didengar keterangannya.
Sementara itu, ahli dari pemohon direncanakan hadir antara lain Franz Magnis Suseno, Ahmad Syafii Aarif, dan Sardy. "Arswendo Atmowiloto akan kami hadirkan sebagai saksi," kata Uli Parulian Sihombing, kuasa hukum pemohon di akhir persidangan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar