Rabu, 17 Februari 2010
Hak sipil umat Kong Hu Cu terabaikan
Sejak 10 tahun ini tahun baru Imlek dirayakan secara terbuka
BBC Indonesia, 14 Februari 2010 - Perayaan Imlek nasional di Indonesia sudah mulai bebas digelar di era Presiden keempat RI Abdurrahman Wahid, sekitar 10 tahun yang lalu.
Tetapi di tengah kemeriahan perayaan Imlek di Kelenteng, mal, ataupun di tempat publik lainnya, sebagian sipil keturunan Tionghoa dinilai masih terabaikan, terutama bagi mereka yang beragama Kong Hu Cu.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, puluhan orang memadati Kelenteng Boen Tek Bio di kawasan Pasar Lama Tangerang untuk berdoa di Tahun Baru Imlek.
Jumlah mereka tak sebanyak Sabtu malam hingga Minggu dini hari, menjelang pergantian tahun baru Imlek yang dipadati ratusan warga keturunan Tionghoa.
Kelenteng tertua di Tangerang yang didirikan tahun 1684 itu, menjadi salah satu pusat perayaan tahun baru Imlek bagi warga keturunan Tionghoa yang dikenal dengan sebutan Cina Benteng.
Di tempat pemukiman keturunan Tionghoa di Kampung Sewan, Cikupa Banten mereka merayakan Imlek dengan mengunjungi keluarga.
Perayaan Imlek oleh keturunan Tionghoa di Tangerang merupakan tradisi yang dilakukan secara turun temurun, meski tak semua dari mereka beragama Kong Hu Cu.
Humas Kelenteng Boen Tek Bio, Oey Tjin Eng mengatakan keturunan Tionghoa merayakan Imlek atas dasar tradisi dan agama.
"Masing-masing bisa beragama Budha, Katolik, Islam dan lain-lain, tetapi merasa diri keturunan Tionghoa mereka menyambut musim semi dan juga instrospeksi diri agar menjadi lebih baik dan lebih baik lagi", Kata Oey Tjin Eng.
Warga keturunan Tionghoa leluasa merayakan Imlek dan bahkan dijadikan libur nasional pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid.
Awal tahun 2000, Presiden keempat RI itu mencabut Inpres 14/1967 tentang agama, kepercayaan, dan adat istiadat Cina. Sejak saat itu, keturunan Tionghoa mulai secara terbuka menjalankan tradisi yang diwariskan leluhur mereka.
Meski perayaan tahun baru Imlek terlihat meriah di Tangerang, tetapi warga keturunan Tionghoa masih mengalami diskriminasi, terutama bagi mereka yang memeluk agama Kong Hu Cu.
Ketua Majelis Konghucu Indonesia Makin Ciapus Kabupaten Tigaraksa Banten, Yap Tjun Teh mencontohkan diskriminasi masih dirasakan oleh umat Kong Hu Cu ketika mengurus KTP.
Majelis Tinggi Agama Kong Hu Cu MATAKIN juga menyebutkan diskriminasi terhadap hak sipil umat Kong Hu Cu masih terjadi di sejumlah daerah.
Bahkan seringkali umat Kong Hu Cu menjadi sasaran pemerasan oknum pemerintah di daerah ketika mengurus KTP. Sekretaris Umum MATAKIN Uung Sendana mencontohkan ada oknum pemerintah di daerah yang akan mencatumkan agama Kong Hu Cu di KTP jika diberi sejumlah uang.
"Padahal tidak semua keturunan Tionghoa kaya, seperti di Banteng dan Singkawang banyak yang miskin," tambah dia.
Selain KTP, hambatan izin pendirian ibadah terjadi di sejumlah daerah padahal sudah memenuhi syarat sesuai ketentuan pemerintah. Antara lain, mendapatkan persetujuan dari 60 orang di lingkungan lokasi yang akan didirikan tempat ibadah dan terdapat 90 warga umat agama yang akan mendirikan tempat ibadah.
"Walaupun ada satu dua orang yang tidak mengizinkan mesti harus tetap diproses dan harus didirikan bangunan itu, jadi masalahnya adalah penegakan hukumnya karena katanya takut ada pengrusakan, " kata Uung.
Dia mencontohkan pendirian tempat ibadah umat Konghucu di Depok Jawa Barat tertunda, karena ada keberatan dari sejumlah orang.
Pada 2006, Presiden Yudhoyono mengingatkan status agama Kong Hu Cu sudah ada dalam Penetapan Presiden No. 1 tahun 1965 yang menyebut agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Kong Hu Cu merupakan agama yang dipeluk penduduk di Indonesia.
Tetapi dalam prakteknya diskriminasi hak sipil terhadap umat Kong Hu Cu dikeluhkan masih terjadi.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar