Minggu, 24 Januari 2010

Makna Patung bagi Pemimpin Negeri


Oleh W. Beratha Yasa

Dulu, sebelum tahun 1930-an, pernah terdengar dan dimuat di media massa bahwa patung (orang Bali menyebutnya togog) sangat langka keberadaannya. Leluhur atau seniman kita membuat patung hanya untuk persembahan atau yadnya untuk dilokasikan di tempat-tempat suci seperti pura, merajan, dll. Patung-patung itu tentunya disakralkan, terlebih yang berwujud pratima. Kini, patung-patung bebas diperjualbelikan.

Setelah tahun 1930-an hingga sekarang, Bali mulai dikenal di mancanegara berkat seni budayanya, alamnya yang indah dan lain sebagainya. Perlu juga diingat saat itu peranan seniman khususnya pelukis luar Bali yang beraktivitas di Bali ikut mempromosikan serta mengharumkan nama Bali lewat karya lukisnya yang dipamerkan di luar negeri seperti contoh Le Mayure, Walter Spice, Bonnet, Arie Smith, Blanco, Agus Djaya, dll. Pelukis Bali antara lain Ida Bagus Made, A.A. Gede Sobrat, I Gusti Made Deblog, dll.

Harumkan Bali

Saya punya usul, para seniman yang pernah mengharumkan nama Bali tersebut perlu juga dibuatkan patungnya dan dipajangkan di tempat-tempat strategis terutama di wilayah yang panen dolar semisal di Badung, Nusa Dua, Kuta, sampai Ubud. Para seniman juga pahlawan. Paling tidak sebagai pahlawan seni budaya (budayawan) atau pahlawan pariwisata.

Para wisatawan datang berbondong-bondong mengunjungi Bali untuk menyaksikan seni budayanya, panorama alamnya, kegiatan spiritual di pura, kegiatan para petani di sawah dan pasar tradisional. Sebagai tanda bukti atau tanda mata wisatawan ini pernah berkunjung ke Bali, mereka lalu membeli lukisan, patung, dan kerajinan seni yang lain.

Khusus hasil karya patung yang bahannya dari kayu banyak diminati oleh wisatawan. Bermunculanlah seniman patung yang kini hasil karyanya bertumpuk-tumpuk di berbagai art shop di Ubud, Kuta, dan di pasar-pasar seni yang ada. Patung yang terbuat dari bahan batu padas dan batu putih juga banyak diperjualbelikan terutama di daerah Batubulan dan Silakarang, Gianyar.

Di Bali, pada gedung-gedung kantor, sekolahan, hotel-hotel dan di sejumlah objek wisata, jika tanpa patung rasanya kurang elok. Patung tersebut ada yang disakralkan seperti patung Ganesha atau Saraswati yang sering kita jumpai di halaman sekolah dan perguruan tinggi. Patung yang hanya sebagai pajangan atau menopang keindahan kantor atau rumah tangga juga tidak sedikit ditemui karena patung-patung tersebut mudah didapat dengan harga terjangkau.

Sebagai Simbol

Warga masyarakat dan pejabat birokrat pun nampaknya sudah mulai ada yang berapresiasi atau peduli terhadap seni patung seperti contoh sepasang patung Rama dan Wibisana (bagian dari cerita Ramayana) belum lama ini telah rampung dikerjakan dan terpajang di Puspem Mangupraja Mandala Kabupaten Badung di Sempidi.

Patung yang terbuat dari beton itu berdiri megah pada jalur strategis menuju kantor Bupati. Sayang, patung tersebut tidak nampak dari jalan raya. Lantas, apa sesungguhnya makna dari patung tersebut? Sumber buku Ramayana mengatakan bahwa Rama dan Wibisana adalah simbol penegakan kebenaran (dharma). Wibisana adalah juga simbol kebijaksanaan walaupun dia hidup di lingkungan keluarga raksasa yakni adik dari Rahwana, raja Alengka.

Cuplikan dari cerita Ramayana mengisahkan terjadi perang antara Rama melawan Rahwana memperebutkan Dewi Sita. Raja Alengka yang jahat ini melarikan dan menyekap istri Rama yakni Dewi Sita yang hendak diperistri oleh Rahwana. Adik dari Rahwana yaitu Wibisana sangat benci dan tidak setuju dengan perbuatan jahat kakaknya itu. Kemudian Wibisana minggat dari kerajaan Alengka dan berlindung memihak ke raja Ayodya yakni Rama Dewa.

Singkat cerita, Rahwana kalah dan wafat dalam pertempuran dan Dewi Sita dapat diselamatkan. Atas restu Sang Rama maka Wibisana ditunjuk sebagai raja Alengka mengantikan Rahwana. Rama banyak memberikan wejangan atau petunjuk kepada Wibisana yang sebagai pemimpin (raja) di antaranya dalam ajaran agama Hindu ada disebut asta brata yaitu delapan persyaratan kepemimpinan.

Sepasang patung Kresna dan Arjuna (bagian dari cerita Mahabharata) sebaiknya juga dibuat dan dipajangkan di depan candi bentar dekat jalan raya sebelum masuk ke kantor Bupati.

Sepasang patung yang tingginya 3 meter memang pas dilokasikan di Puspem Badung. Di samping patung tersebut mencerminkan keindahan budaya Bali, juga penuh mengandung makna filsafat kehidupan, menegakkan dan membela kebenaran. Kita harapkan patung itu bukan hanya sebagai pajangan, namun semoga pemimpin di negeri ini mengikuti filsafat dari cerita pewayangan yang adiluhung itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar