Rabu, 06 Januari 2010
Jadilah Perangkai Bunga, Jangan Penjual Arang
Puspam puspam Vicinuyam
mulacchedam na karayet
Malakara ivodyane na
tathangara karakah
(Parasara Dharmasastra.1.60)
Maksudnya: Ibarat seorang tukang bunga merangkai karangan bunga, hanya memetik sekuntum bunga saja pada setiap pohon bunga dalam kebun. Demikian pulalah pemerintahan negara mendapatkan pendapatan negara dari penentuan pajak yang ringan tanpa memberatkan siapapun. Ia tidak berbuat seperti tukang arang yang menebang seluruh pohon dalam hutan dan memusnahkannya menjadi arang.
---
PERUMPAMAAN yang diadakan dalam kitab Parasara ini sangat menarik untuk direnungkan. Pemerintah hendaknya menjadi seperti tukang merangkai bunga, jangan seperti dagang arang yang rakus menebang pohon untuk dijadikan arang.
Perumpamaan ini sangat patut mendapat perhatian kita semua. Negara dengan warga negaranya ibarat taman dengan bunga-bunga yang tumbuh dalam taman. Tanpa dukungan warga, negara pasti ambruk. Memang negara dibentuk untuk melayani warga agar mendapatkan kehidupan yang aman dan sejahtera.
Demikianlah pemerintahan negara haruslah menjadi pengayom yang baik bagi warganya. Warga yang memiliki kesempatan menjadi pejabat negara haruslah menjadi pelayan dan pengayom warga negara. Jangan sebaliknya, warga menjadi pelayan dan sapi perah dari pejabat negara. Ada pejabat negara menentukan pungutan pajak yang tinggi-tinggi pada warganya. Sedihnya lagi, kalau pajak sudah terkumpul di kas negara terus digerogoti untuk pejabat hidup bersenang-senang.
Pejabat negara yang demikian itulah ibarat pedagang arang yang akan menggerogoti kayu-kayu dalam hutan satu demi satu. Untuk membuat arang, tidak mungkin menggunakan daun atau bunga dari kayu itu. Arang dibuat dari batang kayu. Cepat atau lambat kayu-kayu dalam hutan akan habis. Kalau hutan menjadi gundul, bencana pun akan datang merusak kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya.
Untuk kelangsungan kehidupan negara yang baik, pejabat negara hendaknya seperti tukang atau perangkai bunga. Bunga-bunga dalam taman itu hendaknya dipelihara dengan baik. Jika dipelihara dengan baik, itu akan tumbuh subur dan menghasilkan bunga-bunga yang indah. Bunga-bunga yang sudah mekar dengan indahnya itulah dipilih untuk dirangkai. Bunga yang mekar itu itu jangan dipetik sembarangan. Karena yang dipetik hanya bunganya, tentu pohonnya akan tetap utuh menumbuhkan bunga.
Demikianlah ibaratnya. Hendaknya pejabat atas nama negara yang mengenakan pajak dan pungutan-pungutan lainnya pada warganya, berhati-hati. Pajak yang dikenakan hendaknya tidak sampai memberatkan rakyat. Pejabat negara hendaknya merawat warganya ibarat merawat bunga-bunga dalam taman. Setelah bunga itu subur dan menumbuhkan bunga-bunga yang indah, barulah dipetik dengan terpilih. Janganlah menentukan pungutan pajak yang dapat mematikan semangat hidup warga negara.
Konon dewasa ini masih ada oknum pejabat negara bagaikan pedagang arang. Banyak pengusaha yang gulung tikar karena menderita informal cost yang sangat tinggi. Informal cost atau biaya siluman itu dipungut oleh sementara oknum-oknum pejabat negara untuk kepentingan dirinya sendiri. Hal ini menyebabkan pengusaha tidak mampu mengembangkan efisiensi dalam usahanya. Karena tidak mau rugi, maka yang dipermainkan adalah kualitas produk, biaya pegawai dan menyulap pajak.
Yang pertama-tama rugi adalah konsumen, karyawan tidak mendapatkan upah yang layak karena pajak yang disulap. Untuk beberapa waktu, pengusaha nampaknya tidak dirugikan. Setelah terjadi krisis barulah nampak akibatnya yang benar-benar menghancurkan keseluruhannya. Akibat pejabat negara bagaikan pedagang arang, mereka menebangi pohon-pohon bisnis, maka semuanya menjadi ambruk. Pohon-pohon bisnis itu adalah tumpuan warga negara mendapatkan lapangan kerja dan pajak untuk negara. Semestinya para pengusaha dan pejabat bersikap bagaikan perangkai bunga yang rajin memelihara pohon bunga.
Kepada masyarakat yang bukan berbisnis pun pejabat negara hendaknya jangan berlaku seperti pedagang arang. Tanah warisan yang mereka miliki janganlah dikenakan pajak terlalu tinggi. Banyak keluhan masyarakat pemilik tanah yang sampai terdorong menjual tanah warisan karena dikenakan pajak terlalu tinggi. Apalagi tanah warisan itu tetap dipertahankan sebagai tanah pertanian -- sebagai sawah atau ladang. Pejabat negara sebaiknya memberikan subsidi dengan meringankan pajaknya. Apalagi tanah yang dipertahankan sebagai tanah pertanian yang akan dapat memelihara lingkungan alam.
Tanah tersebut sebaiknya tidak dikenakan pajak. Bahkan dibantu agar nilai tambah hasil pertanian atau kebunnya menjadi lebih baik sehingga mereka akan betah bertahan menjadi petani. Pemerintah hendaknya memberikan perhatian khusus bagi masyarakat yang mau menjaga tanahnya sebagai daerah hijau meskipun tidak dalam bentuk hutan. Tanah yang dipertahankan sebagai lahan pertanian itu akan sangat membantu menjadi daerah resapan air sehingga keberadaan air bawah tanah menjadi tertolong.
Para petani yang rajin memelihara tumbuh-tumbuhan sebaiknya digolongkan sebagai pahlawan lingkungan. Kalau pada sebagian terbesar tanah itu dibangun gedung-gedung yang menutup tanah menjadi daerah resapan, maka keberadaan air bawah tanah itu akan semakin sedikit. Keberadaan air dalam suatu pemukiman merupakan syarat mutlak menurut Canakya Nitisastra I.9. (Bali Post)
mulacchedam na karayet
Malakara ivodyane na
tathangara karakah
(Parasara Dharmasastra.1.60)
Maksudnya: Ibarat seorang tukang bunga merangkai karangan bunga, hanya memetik sekuntum bunga saja pada setiap pohon bunga dalam kebun. Demikian pulalah pemerintahan negara mendapatkan pendapatan negara dari penentuan pajak yang ringan tanpa memberatkan siapapun. Ia tidak berbuat seperti tukang arang yang menebang seluruh pohon dalam hutan dan memusnahkannya menjadi arang.
---
PERUMPAMAAN yang diadakan dalam kitab Parasara ini sangat menarik untuk direnungkan. Pemerintah hendaknya menjadi seperti tukang merangkai bunga, jangan seperti dagang arang yang rakus menebang pohon untuk dijadikan arang.
Perumpamaan ini sangat patut mendapat perhatian kita semua. Negara dengan warga negaranya ibarat taman dengan bunga-bunga yang tumbuh dalam taman. Tanpa dukungan warga, negara pasti ambruk. Memang negara dibentuk untuk melayani warga agar mendapatkan kehidupan yang aman dan sejahtera.
Demikianlah pemerintahan negara haruslah menjadi pengayom yang baik bagi warganya. Warga yang memiliki kesempatan menjadi pejabat negara haruslah menjadi pelayan dan pengayom warga negara. Jangan sebaliknya, warga menjadi pelayan dan sapi perah dari pejabat negara. Ada pejabat negara menentukan pungutan pajak yang tinggi-tinggi pada warganya. Sedihnya lagi, kalau pajak sudah terkumpul di kas negara terus digerogoti untuk pejabat hidup bersenang-senang.
Pejabat negara yang demikian itulah ibarat pedagang arang yang akan menggerogoti kayu-kayu dalam hutan satu demi satu. Untuk membuat arang, tidak mungkin menggunakan daun atau bunga dari kayu itu. Arang dibuat dari batang kayu. Cepat atau lambat kayu-kayu dalam hutan akan habis. Kalau hutan menjadi gundul, bencana pun akan datang merusak kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya.
Untuk kelangsungan kehidupan negara yang baik, pejabat negara hendaknya seperti tukang atau perangkai bunga. Bunga-bunga dalam taman itu hendaknya dipelihara dengan baik. Jika dipelihara dengan baik, itu akan tumbuh subur dan menghasilkan bunga-bunga yang indah. Bunga-bunga yang sudah mekar dengan indahnya itulah dipilih untuk dirangkai. Bunga yang mekar itu itu jangan dipetik sembarangan. Karena yang dipetik hanya bunganya, tentu pohonnya akan tetap utuh menumbuhkan bunga.
Demikianlah ibaratnya. Hendaknya pejabat atas nama negara yang mengenakan pajak dan pungutan-pungutan lainnya pada warganya, berhati-hati. Pajak yang dikenakan hendaknya tidak sampai memberatkan rakyat. Pejabat negara hendaknya merawat warganya ibarat merawat bunga-bunga dalam taman. Setelah bunga itu subur dan menumbuhkan bunga-bunga yang indah, barulah dipetik dengan terpilih. Janganlah menentukan pungutan pajak yang dapat mematikan semangat hidup warga negara.
Konon dewasa ini masih ada oknum pejabat negara bagaikan pedagang arang. Banyak pengusaha yang gulung tikar karena menderita informal cost yang sangat tinggi. Informal cost atau biaya siluman itu dipungut oleh sementara oknum-oknum pejabat negara untuk kepentingan dirinya sendiri. Hal ini menyebabkan pengusaha tidak mampu mengembangkan efisiensi dalam usahanya. Karena tidak mau rugi, maka yang dipermainkan adalah kualitas produk, biaya pegawai dan menyulap pajak.
Yang pertama-tama rugi adalah konsumen, karyawan tidak mendapatkan upah yang layak karena pajak yang disulap. Untuk beberapa waktu, pengusaha nampaknya tidak dirugikan. Setelah terjadi krisis barulah nampak akibatnya yang benar-benar menghancurkan keseluruhannya. Akibat pejabat negara bagaikan pedagang arang, mereka menebangi pohon-pohon bisnis, maka semuanya menjadi ambruk. Pohon-pohon bisnis itu adalah tumpuan warga negara mendapatkan lapangan kerja dan pajak untuk negara. Semestinya para pengusaha dan pejabat bersikap bagaikan perangkai bunga yang rajin memelihara pohon bunga.
Kepada masyarakat yang bukan berbisnis pun pejabat negara hendaknya jangan berlaku seperti pedagang arang. Tanah warisan yang mereka miliki janganlah dikenakan pajak terlalu tinggi. Banyak keluhan masyarakat pemilik tanah yang sampai terdorong menjual tanah warisan karena dikenakan pajak terlalu tinggi. Apalagi tanah warisan itu tetap dipertahankan sebagai tanah pertanian -- sebagai sawah atau ladang. Pejabat negara sebaiknya memberikan subsidi dengan meringankan pajaknya. Apalagi tanah yang dipertahankan sebagai tanah pertanian yang akan dapat memelihara lingkungan alam.
Tanah tersebut sebaiknya tidak dikenakan pajak. Bahkan dibantu agar nilai tambah hasil pertanian atau kebunnya menjadi lebih baik sehingga mereka akan betah bertahan menjadi petani. Pemerintah hendaknya memberikan perhatian khusus bagi masyarakat yang mau menjaga tanahnya sebagai daerah hijau meskipun tidak dalam bentuk hutan. Tanah yang dipertahankan sebagai lahan pertanian itu akan sangat membantu menjadi daerah resapan air sehingga keberadaan air bawah tanah menjadi tertolong.
Para petani yang rajin memelihara tumbuh-tumbuhan sebaiknya digolongkan sebagai pahlawan lingkungan. Kalau pada sebagian terbesar tanah itu dibangun gedung-gedung yang menutup tanah menjadi daerah resapan, maka keberadaan air bawah tanah itu akan semakin sedikit. Keberadaan air dalam suatu pemukiman merupakan syarat mutlak menurut Canakya Nitisastra I.9. (Bali Post)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar