Rabu, 06 Januari 2010
Desa Tenganan Penuhi Semua Kebutuhannya Sendiri
KARANGASEM, BALI, 8 Desember 2009 – Desa adat Tenganan di Kabupaten Karangasem, Bali, mampu memenuhi semua kebutuhan masyarakatnya sendiri sehingga tidak pernah bergantung pada daerah lain.
"Untuk membangun rumah saja, seluruh warga ikut bergototong-royong, mulai dari membuat pondasi sampai mengambil kayu di hutan," kata Kepala Desa (Perbekel) Tenganan I Putu Suarjana di Karangasem, Selasa.
Ia menjelaskan, semua bangunan yang dibuat tidak ada yang membeli, karena semua bahan, seperti kayu dan batu sudah tersedia di desa tersebut, termasuk tenaga tukang. Masyarakat di desa itu hanya mendatangkan genting dari daerah lain karena sebelumnya rumah mereka menggunakan alang-alang.
Seorang warga Tenganan yang ingin memanfaatkan kayu hutan harus menjalani sejumlah rentetan perizinan. Saat warga akan menebang pohon di hutan harus mendapat izin dari legislatif desa. Jika hal ini tidak dipatuhi, kayu akan disita dan dikenakan denda dua kali lipat dari harga kayu dengan perhitungan menyesuaikan harga pasar.
"Izin diajukan ke bale agung atau kantor desa adat dengan menyebutkan jenis pohon, penggarap, dan peruntukannya untuk apa," kata Suarjana.
Setelah itu, desa adat membentuk tim verifikasi yang terdiri atas tiga orang dari sesepuh desa yang dapat menentukan kebijakan, serta kelian adat dan salah seorang bawahannya.
Jumlahnya harus ganjil karena jika ada voting maka akan ada yang menang dan kalah. Tim verifikasi ini melakukan survei ke lapangan dan melihat apakah permintaan itu bisa dikabulkan atau tidak.
Jika pohon itu masih berada dalam kategori hidup, maka izin akan ditolak. Jika pohon itu sudah terlihat 70 persen mati, maka izin dikabulkan.
"Pemberitahuannya akan diberikan seorang petugas yang disebut seorang kopral, yaitu posisi parlemen desa yang terbawah. Pemberitahuan akan dilakukan keesokan harinya pukul 20.30 dengan memberikan surat," katanya.
Dalam hal hasil hutan juga diatur, yaitu buah-buahan tidak boleh sengaja untuk diambil sebelum buah itu jatuh ke tanah.
Masyarakat Desa Tenganan tidak mengenal adanya perceraian maupun adopsi anak karena hal ini berpengaruh pada sistem ahli waris. Di desa itu, baik laki-laki maupun perempuan memiliki hak waris yang sama. Jika melakukan adopsi anak, maka sistem ahli waris terputus dan hak diberikan kepada keluarga.
Untuk perkawinan, ketentuan adat desa itu tak memberlakukan menikah dengan warga di luar Desa Tenganan. Kalau hal itu dilakukan maka sanksi yang diberikan adalah tidak dilibatkan dalam kelembagaan sebagai legislatif desa, seperti posisi sebagai perencana, pelaksana, menjadi pemimpin desa. Mereka nantinya hanya akan dianggap sebagai masyarakat biasa.
Masyarakat Desa Tenganan menganut sistem Hindu Indra yang merupakan manifestasi Tuhan untuk Sang Hyang Pertiwi. Ada beberapa perbedaan dengan masyarakat Hindu di Bali pada umumnya yang menganut Hindu Siwa.
Perbedaan itu diantaranya dalam hal upacara kematian yang mengenal adanya upacara pembakaran mayat (ngaben), namun untuk masyarakat Tenganan, hal tersebut tidak dilakukan. Kalau pun ada upacara pengabenan, hal itu dilakukan sekadar simbolis saja.
"Prinsip kami adalah setiap orang yang lahir dan meninggal itu sudah membawa hari baiknya sendiri-sendiri sehingga tidak perlu kita mencarikan hari baik untuk penguburan dan harus menyemayamkan jenazah di rumah selama berhari-hari sehingga semakin menambah duka bagi keluarga," katanya.
Ketika ada warga yang meninggal maka harus secepatnya dikuburkan untuk dikembalikan ke Ibu Pertiwi. Lain halnya ketika waktu meninggalnya pada sore atau malam hari maka proses penguburannya dilakukan keesokan harinya setelah pukul 12.00 atau sebelum matahari terbenam.
"Saat dikubur pun dalam keadaan telanjang dan tidak diberikan bekal apapun, seperti halnya ketika bayi lahir ke dunia juga telanjang," kata Suarjana.
Suarjana optimistis bahwa warisan budaya ini akan terus dilestarikan secara turun temurun dan perlindungannya yaitu dengan melakukan upacara dan gotong-royong, baik itu jenis upacara untuk penghormatan untuk Tuhan, manusia, lingkungan, air.
"Kami terus membina anak-anak agar terus menghormati daerahnya sendiri dengan mengenalkan jati diri sebelum menghormati yang lain," kata dia.
Menurut dia, unsur keseimbangan dalam hidup agar manusia menjaga tiga elemen, yaitu api, air, dan udara yang diidentikkan dengan warna-warna tertentu dalam kain khas Tenganan Pegeringsingan.
Sampai saat ini, Tenganan masih terus mempertahankan diri untuk tidak membangun tempat penginapan, seperti vila bahkan hotel atau menyewakan rumah penduduk sebagai tempat menginap.
"Kalau ada yang punya saudara bahkan teman untuk menginap masih diperbolehkan, tapi jika disewakan akan kami larang," kata Suarjana.
Kata dia, kalau ingin menginap silahkan di Candi Dasa yang letaknya sekitar tiga kilometer dari Tenganan yang memang menyediakan tempat penginapan. (BaliPost)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar