Kamis, 25 Februari 2010

Inspiration


Though we travel the world over to find the beautiful, we must carry it with us or we find it not.
Ralph Waldo Emerson

A Dispute Over the Not-So-Holy Prasada

Source: www.azcentral.com

[Hindu Press International note: According to the Mounier-Williams Sanskrit dictionary, Prasada means "Clarity, brightness; grace." It is often used to signify food offered to the Deity or the guru, or the blessed remnants of such food, or any propitiatory offering.]

ARIZONA, U.S., February 5, 2010: A Sanskrit word meaning “gracious gift” or “clarity” has resulted in anything but for two Surprise business entities. A doctor who recently opened his first practice, Prasada Pediatrics, is involved in a trademark-infringement dispute with Westcor, the developer of the master-planned community of Prasada.

Dr. Brian Lawrence Young, whose wife’s mother is Buddhist, said he chose the name for its Sanskrit meanings. He established Prasada Pediatrics as a limited-liability corporation last April and opened for business in mid-January.

On Jan. 27, an attorney representing Westcor sent a cease-and-desist letter to Young, raising the issue of trademark infringement. The letter stated that the Prasada brand was important to Westcor and Surprise and that the company had a duty to “eliminate any likelihood of consumer confusion.”

“With trademark law, the key question is: Who began using the name first? ” said Jennifer Van Kirk, a partner with the Phoenix law firm Lewis and Roca who specializes in intellectual-property law. “From a legal perspective… even purely innocent infringement is still infringement.”

Rare Tamil Nadu Temple Under Renovation


Source: beta.thehindu.com

TAMIL NADU, INDIA, February 2010: Near Chennai, the ancient village of Sembian Kolathur has a name denoting Chola connection. The small village, famous for Sama Vedic is home of the rare Sri Thulaseeswarar temple, where Lord Siva temple takes the name of tulsi, or holy basil. The 850-year old Sri Thulaseeswarar temple has been taken up for renovation.

Legend has it that the lingam there is one of the 108 that Agastyar created. He is said to have adorned the deity with konrai garland and worshipped with tulsi leaves. It is said that worshipping Siva on Mondays with tulsi earns the devotee the Lord’s affection.

Work is partially completed but is the renovation has appealed for funds. For details see contact information at the source above.

Last Nepal King Breaks Ancient Taboo


Source: beta.thehindu.com

KATMANDU, NEPAL, February 9, 2010: Almost two years after he was stripped of his crown and became a commoner, Nepal’s deposed king Gyanendra hit the headlines Tuesday with reports that he had attended, for the first time in the history of Nepal’s Shah dynasty, a religious fair in a town till now considered out of bounds for his family.

Escorted by bodyguards and aides, the 62-year-old ousted king drove himself to Panauti on Monday, a town 22 miles southeast of Kathmandu, to attend the Makar Mela, a Hindu fair held every 12 years. In the past, legend had it that Panauti was a forbidden area for the Shah kings of Nepal since it was the domain of Hindu god Narayan and the kings of Nepal were considered incarnations of the same god.

The former king, breaking the taboo, said he was visiting the fair as a common citizen attending a religious event and not as a king.

Nepal’s history is often closely woven with legends and curses. North of Kathmandu lies a colossal statue of Vishnu, another incarnation of Narayan, lying in a bed of serpents on a pool. The Budanilkantha temple is the only one in Nepal that was forbidden to the royal family of Nepal after a legend arose that the king would die if he ever gazed on the 15 feet high statue.

Rabu, 24 Februari 2010

Mutiara Bhagavad-Gita


Bab 17 - Tiga Jenis Kepercayaan

1. Mereka yang tidak kenal akan kaidah-kaidah suci ini, tetapi mempersembahkan pengorbanan dengan keyakinan(sraddha) -- bagaimanakah keadaan mereka ini, oh Krshna? Apakah (mereka) ini tergolong sattva, rajas atau tamas?

Timbul pertanyaan yang wajar di dalam hati sang Arjuna, apakah perlu kita semua belajar tentang hukum atau kaidah-kaidah yang dikandung oleh skripsi kuno dan buku-buku suci lainnya? Apakah Bhagavad-Gita sendiri tidak cukup atau memadai? Dan bagaimana dengan nasib mereka yang berkeyakinan tetapi tidak pernah membaca atau mengetahui tentang naskah atau skripsi-skripsi kuno ini? Sebenarnya hukum ini — karena sifatnya yang abadi, spiritual dan alami — secara otomatis akan bekerja sendiri. Tidak penting apakah setiap orang yang berkeyakinan itu pernah mendengar atau tidak akan hukum/kaidah ini. Sesuai dengan karunia-Nya maka seseorang yang berkeyakinan akan belajar sendiri atau dengan kata lain mendapatkan sendiri semua kaidah-kaidah suci ini secara bertahap, dan ia akan memahami itu semua dengan baik. Yang penting, kita ini (setiap individu) harus jujur pada diri sendiri, dan walaupun tak pernah mendengar tentang sastra-sastra ini, seorang yang telah terpanggil ke jalan-Nya akan secara otomatis mempelajari dan mempraktekkan secara langsung semua kaidah dan hukum-hukum suci ini, sesuai dengan hati nuraninya, karena memang hukum ini sifatnya amat universal dan alami. Arjuna yang khawatir akan nasib seseorang yang berkeyakinan tetapi tidak kenal kaidah-kaidah suci ini, sebenarnya tidak perlu khawatir, karena yang penting adalah penghayatan dan pengamalan kaidah-kaidah itu sendiri secara tulus, dan bukan dengan membaca atau mengetahuinya. Kaidah-kaidah itu sendiri secara tulus, dan bukan semua itu datang dari Satu Tuhan Yang Maha Esa dan Maha Pengasih dan Penyayang. Walau nampaknya kaidah-kaidah ini berlainan dalam berbagai ajaran agama, ajaran moral, kebatinan dan hukum tetapi intisarinya selalu Manunggal, Esa, dan semua itu selalu berporos dan kembali kepada-Nya juga. Om Tat Sat.

Bersabdalah Yang Maha Pengasih:
2. Kepercayaan manusia (makhluk yang dapat binasa), yang lahir dari sifat-sifat mereka terbagi dalam tiga bagian -- sattvik, rajasik dan tamasik. Dengarkanlah oleh mu semua ini.


3. Sraddha seseorang, oh Arjuna, adalah berdasarkan sifat seseorang itu. Manusia dibentuk oleh sraddhanya: begitu sraddhanya, begitu juga manusianya.

Sraddha, atau iman atau keyakinan, adalah ekspresi dari setiap sifat sejati atau asli dari individu itu sendiri yang sudah diatur oleh karma-karmanya. Begitu sifatnya, begitu juga prilaku orang itu. Keyakinannya akan Yang Maha Esa, otomatis terpancarkan sesuai dengan sifat-sifat asli setiap individu yang tentunya berbeda-beda dari setiap manusia ke manusia yang lainnya, dan faktor ini juga akan membeda-bedakan prilaku manusia tersebut. Dan ada tiga golongan kepercayaan pada setiap makhluk yang hidup, terutama yang disebut manusia (makhluk yang juga dapat binasa), yaitu sattvik (dari sattva), rajasik (dari rajas) dan tamasik (dari tamas), yang hadir secara berbeda-beda dan dominan dalam bentuk dan kekuasaannya masing-masing.

Selasa, 23 Februari 2010

Repotnya Mengatur Bangunan Biar Tetap Berornamen Bali di Metro Denpasar


Masih Bingung Lengkap Filosofisnya atau Sekadar Tampilan Luar

Radar Bali, Selasa, 23 Februari 2010 - Peraturan tentang bangunan agar ber-style Bali di Kota Denpasar melalui perwali ternyata tak gampang dirumuskan. Sudah telanjur banyak yang melanggar, tapi masih mikir apakah bangunan itu sekaligus filosofisnya atau sekadar tampilan luarnya saja, biar lebih ekonomis.

---

BANYAK kritik bermunculan, dan respons tentang pelanggaran itu memang terasa lambat. Saat ini Dinas Tata Ruang Dan Perumahan (DTRP) sedang menyiapkan draf perwali tentang arsitektur bangunan gedung (ABG) berornamen Bali.

Senin (22/2) kemarin misalnya, I Gusti Ngurah Edi Mulya, selaku asisten administrasi pembangunan Setda Denpasar mengatakan kepada Radar Bali, bahwa perwali tentang arsitektur bangunan gedung ornamen Bali akan selesai dalam waktu dua bulan. "Dari draf ke perwali ditargetkan selesai paling lama dalam dua bulan mendatang," ungkap Edi Mulya di ruang kerjanya kemarin.

Dan, Rabu (24/2) besok, menurutnya akan dilakukan pertemuan antara dinas terkait serta beberapa tim termasuk tim teknis ABG akan melakukan pertemuan kembali untuk segera merampungkan draf perwali tersebut. Dalam pertemuan itu, juga akan dibahas tentang penajaman apakah dalam bangunan harus diikutkan juga arti filosofi atau hanya langgamnya saja.

Tambah Edi, bila dalam bangunan gedung harus diikutsertakan makna filosofi akan sedikit menambah pengeluaran, kalau hanya langgam yang melambangkan tampilan fisik saja, maka akan sedikit lebih ekonomis. "Kalau makna filosofi bangunan diatur juga, akan lebih banyak mengeluarkan dana. Tapi, kalau hanya langgam tampilan fisik, maka sedikit lebih hemat," tegas Edi.

Ini karena jika harus mecantumkan makna filosofisnya, maka menurut Edi tidak semua bangunan dapat menyajikan makna filosofinya tersebut. Hanya bangunan tertentu saja yang dapat memberikan makna filosofi, seperti gedung untuk publik, kompleks yang sudah berskala besar.

Pertimbangan yang utama ada atau tidak makna filosofi itu adalah pertimbangan ekonomis. Nantinya, setelah perwali disahkan, pembangunan di Kota Denpasar akan selalu berpatokan kepada perwali ini.

Bangunan yang sudah ada tidak akan dikenakan perwali, hanya bila melakukan renovasi harus mengikuti aturan yang ada di perwali. Dan, bila perwali ABG selesai, perda dapat dibuat tapi masih harus menunggu disahkannya perda tentang RTRW.

Uji UU Penodaan Agama: MK Akan Tetap Dengar Ahli dari Amerika


TEMPO Interaktif, Jakarta, 23 Februari 2010 - Mahkamah Konstitusi tetap akan menghadirkan saksi ahli dari Amerika Serikat, W Cole Durham, dalam sidang uji materi Undang-undang tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Mahkamah tidak mau mendengar desakan sebagian kalangan yang meminta tidak mendengarkan keterangan orang asing.

"Karena (pihak) yang berperkara yang mengajukan, Mahkamah Konstitusi tidak bisa menolak," ujar Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud Md, dalam jumpa pers di Gedung Mahkamah Konstitusi, Selasa (23/2).

Menurut Mahfud, tiap pihak yang berperkara berhak mengajukan ahli, dan Mahkamah wajib mendengarkan keterangannya. Termasuk Durham, pakar hak asasi manusia lulusan Universitas Harvard yang dijadwalkan bersaksi dalam persidangan berikutnya.

"Karena itu kalau ada yang mau mengajukan ahli hak asasi beragama dari Mekkah, silakan, kita terima juga. Bahkan kalau mau dari neraka pun boleh diajukan asal bisa didatangkan," kata Mahfud.

Mahkamah menguji UU Nomor 1/PNPS/1965 itu sejak 17 November 2009. Uji materi diajukan enam Lembaga Swadaya Masyarakat yang menilai beleid Penodaan Agama itu diskriminatif karena hanya mengakui enam agama, yaitu Islam, Katolik, Protestan, Buddha, Hindu, dan Kong Hu Cu.

Undang-undang juga dianggap mengharuskan diambilnya satu tafsir tertentu dalam agama tertentu untuk menjadi batasan permusuhan, penyalahgunaan dan penodaan terhadap agama. Berpihaknya negara kepada salah satu tafsir tertentu dinilai diskriminasi terhadap aliran/tafsir lain yang hidup pula di Indonesia.