Selasa, 02 Maret 2010

"Ogoh-ogoh", Wahana Menuju Keinsyafan Manusia


Denpasar - Menjelang Hari Suci Penyepian, peristiwa dan prosesinya nyaris mirip dari tahun ke tahun, yaitu tiap banjar (pemangkuan adat setingkat dusun) di Bali berlomba-lomba membuat "ogoh-ogoh" sebaik dan semenarik mungkin. Kalau bisa lebih berseni, rumit, dan lebih mutakhir, maka "ogoh-ogoh" itu diharapkan bisa menaikkan martabat banjar yang membuatnya.

Pada tahun ini, Hari Suci Penyepian akan tiba pada 16 Maret nanti, sebagai tanda Tahun Baru Saka 1932 dimulai. Layaknya perayaan agama yang bersisian dengan kegembiraan penganutnya, maka umat Hindu juga bersuka-ria menyambut kehadiran tahun baru itu dibarengi dengan perenungan tentang yang telah terjadi dan dilakukan selama ini.

Demikianlah, "ogoh-ogoh" menjadi satu ikon ritual yang sangat penting dalam ritual perayaan Nyepi. Dia akan diarak ke berbagai penjuru banjar, kota, dan bahkan kawasan, sebagai perlambang kehadiran alias personifikasi pribadi Sang Bhuta Kala dalam alam mayapada ini.

"Ogoh-ogoh" adalah karya seni yang menggambarkan kepribadian Bhuta Kala itu, yang merepresentasikan kekuatan alam semesta (Bhuta) dan waktu (Kala) yang tak terukur dan tak terbantahkan.

Secara penampakannya, perwujudan patung Bhuta Kala itu sering digambarkan sebagai sosok yang besar dan menakutkan, biasanya dalam wujud raksasa. Selain wujud itu, "ogoh-ogoh" sering pula digambarkan sebagai makhluk-makhluk yang hidup di mayapada, surga dan neraka, di antaranya naga, gajah, garuda, widyadari, bahkan dewa.

Raksasa adalah bangsa pemakan daging manusia atau kadang-kadang sebagai bangsa kanibal dan dilukiskan dalam Yakshagana, sebuah seni populer dari Karnataka. Mitologi Hindu dan Buddha menyatakan, kata "raksasa" berarti kekejaman, lawan kata dari "raksha" atau kesentosaan.

Agaknya mustahil jika membahas kekayaan budaya dan religi Hindu tanpa membahas kitab Ramayana dan Mahabharata atau syair suci Bhagawad-Gita. Kitab Ramayana menguraikan, "raksasa" diciptakan dari kaki Dewa Brahma. Di lain kisah, mereka muncul dari tokoh Pulastya, Khasa, Nirriti dan Nirrita.

Dewa Brahma juga dikatakan pernah memberikan berkah kepada raksasa yang memujanya, di antaranya Wibisana, Hiranyaksa, dan Hiranyakasipu. "Rakshasa" terkenal karena kejahatannya, kuku mereka beracun, dan mereka makan daging manusia atau makanan hasil rampasan, dan juga memiliki ilmu gaib serta mampu mengubah wujud menjadi manusia atau burung besar.

Namun, tidak selamanya raksasa berwujud seperti itu. Beberapa lahir dengan tubuh dan rupa manusia namun memiliki jiwa jahat selayaknya raksasa, seperti di antaranya Kamsa, Duryudana, Dursasana, Jarasanda, Sisupala, yang semuanya adalah tokoh dalam kisah Mahabharata.

Memang seolah orang Hindu itu diciptakan Tuhan dengan kreativitas seni sangat prima, maka pada masa kini "ogoh-ogoh" itu dikembangkan dan dielaborasikan dalam rupa dan konteks peristiwa aktual masa kini. Tidak heran jika kemudian Michael Jackson, raksasa seram menunggangi motor besar Harley-Davidson, dan bahkan teroris juga dijadikan "ogoh-ogoh".

Dalam fungsi utamanya, "ogoh-ogoh" sebagai representasi Bhuta Kala, dibuat menjelang Hari Nyepi dan diarak beramai-ramai keliling desa pada senja hari "pengerupukan", yaitu sehari sebelum Hari Suci Penyepian. Menurut para cendekiawan dan praktisi Hindu Dharma, proses ini melambangkan keinsyafan manusia akan kekuatan alam semesta dan waktu yang maha dashyat.

Kekuatan tersebut meliputi kekuatan Bhuana Agung (alam raya) dan Bhuana Alit (diri manusia). Dalam pandangan Tattwa (filsafat), kekuatan ini dapat mengantarkan makhluk hidup, khususnya manusia dan seluruh dunia menuju kebahagiaan atau kehancuran.

Semua ini tergantung pada niat luhur manusia, sebagai makhluk Tuhan yang paling mulia dalam menjaga dirinya sendiri dan seisi dunia.

Nyepi

Hari Suci Penyepian adalah hari raya umat Hindu Dharma yang dirayakan setiap Tahun Baru Saka. Hari suci ini jatuh pada hitungan "tilem kesanga", yang dipercayai hari penyucian dewa-dewa di pusat samudera, yang membawa intisari "amerta" air kehidupan, sehingga umat Hindu melakukan pemujaan suci terhadap mereka.

Tujuan utama Hari Raya Nyepi sebagai bagian dari rangkaian perayaan yang lebih besar, adalah memohon ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa, untuk menyucikan Buwana Alit (alam manusia) dan Buwana Agung (alam semesta). Hari Suci Nyepi tidak bisa lepas dari ritual "tawur" atau "pecaruan", "pengerupukan", dan "melasti".

Sehari sebelum Nyepi, yaitu pada "panglong ping 14 sasih kesanga", umat Hindu melaksanakan upacara Bhuta Yadnya di perempatan jalan dan lingkungan rumah masing-masing, dengan mengambil salah satu dari jenis-jenis "caru" sesuai kemampuannya.

"Tawur" atau "pecaruan" itu sendiri merupakan penyucian atau "pemarisuda" Bhuta Kala, dan segala "leteh" (kekotoran) diharapkan sirna semuanya.

Ritual "mecaru" diikuti upacara "pengerupukan", yaitu menyebar-nyebar nasi tawur, menyalakan obor di rumah dan seluruh pekarangan, serta memukul benda-benda apa saja hingga bersuara ramai alias gaduh.

Tahapan ini dilakukan untuk mengusir Bhuta Kala dari lingkungan rumah, pekarangan, dan lingkungan sekitar. Khusus di Bali (yang juga sudah mulai membudaya di daerah lain), "pengerupukan" biasanya dimeriahkan dengan pawai "ogoh-ogoh", yang merupakan perwujudan Bhuta Kala yang diarak keliling lingkungan dan kemudian dibakar.

Jika pada Hari Suci Nyepi suasananya sepi sama-sekali, maka pada "pengerupukan", keramaian melebihi pasar malam. "Ogoh-ogoh" menjadi satu hal nyata yang dinantikan kehadirannya oleh setiap orang, tidak saja sebagai benda seni namun juga sebagai benda religi dan tradisi. Tujuan pengarakan "ogoh-ogoh" itu sama, yaitu mengusir Bhuta Kala dari lingkungan sekitar.

Tahap terakhir Nyepi adalah "melasti", yaitu menghanyutkan segala "leteh" ke laut, serta menyucikan "pratima" (benda suci di dalam pura). Upacara di laut ini dikarenakan laut dianggap sumber amerta, dan selambat-lambatnya pada tilem sore, "melasti" itu harus selesai.

Keesokan harinya, yaitu pada "panglong ping 15" atau "tilem Kesanga", tibalah Hari Raya Nyepi sesungguhnya. Pada hari ini dilakukan puasa Nyepi yang disebut "Catur Brata Penyepian" yang terdiri dari "amati geni" (tidak menyalakan api), "amati karya" (tidak bekerja), "amati lelungan" (tidak bepergian), dan "amati lelanguan" (tidak menikmati hiburan).

"Brata" ini dilakukan sejak sebelum matahari terbit, karena diyakini segala hal yang bersifat peralihan, selalu didahului dengan perlambang gelap. Intisari dari perlambang-perlambang lahir itu (amati geni), menurut lontar "Sundari Gama" adalah untuk memutihbersihkan hati sanubari, yang merupakan kewajiban bagi umat Hindu.

Rangkaian terakhir dari perayaan Tahun Baru Saka adalah hari "ngembak geni" yang jatuh pada tanggal "ping pisan" atau "sasih kedasa". Pada hari inilah Tahun Baru Saka tersebut dimulai, saat umat Hindu Dharma bersimakrama dengan keluarga besar dan tetangga, saling maaf-memaafkan satu sama lain.

Dengan suasana baru, kehidupan baru akan dimulai dengan hati putih bersih. Jadi kalau tahun masehi berakhir tiap tanggal 31 Desember dan tahun barunya dimulai 1 Januari, maka tahun Saka berakhir pada "panglong ping limolas sasih kedasa", dan tahun barunya dimulai tanggal 1 "sasih kedasa".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar