Sabtu, 06 Maret 2010
Kashmir Exiles’ Dream of Returning Comes Closer
Source: www.independent.co.uk
KASHMIR, INDIA, February 22, 2010: The 400,000 Hindus driven out by Muslim extremists 20 years ago hope talks beginning this week will bring them a step closer to going home.
There are positive signs, for in recent months several long-closed Hindu temples have been restored and reopened, with the help of the Muslim community, and a key Hindu festival was celebrated in Srinagar for the first time 20 years. A Pandit organization in the city hopes to reopen 60 more temples in the valley this year. Muslim leaders admit more needs to be done, both in providing homes and jobs and in building sufficient trust to persuade Hindus to return. Occasions at which the community comes together include the religious festivals it has traditionally marked. On a recent afternoon in the Lajpat Nagar neighborhood of Delhi, scores of Kashmiri Hindus gathered to celebrate perhaps the most important, Shivaratri, or the “Night of Shiva”.
In January 19, 1990, the Hindus of Kashmir, better known as the Kashmiri Pandits, were forced to flee the valley between the Great Himalayas and the Pir Panjal mountains in which their families had lived for centuries. In just three months, more than 400,000 Hindus were scattered across India and beyond. Hundreds, perhaps thousands, were killed. Two decades later, fewer than 3,000 Hindus remain and the government of India says it is determined to help those who want to return to the homes they were forced to leave. But the Pandits say the government does little but talk. Even now, many are still enduring lives of quiet misery in inadequate refugee camps.
KASHMIR, INDIA, February 22, 2010: The 400,000 Hindus driven out by Muslim extremists 20 years ago hope talks beginning this week will bring them a step closer to going home.
There are positive signs, for in recent months several long-closed Hindu temples have been restored and reopened, with the help of the Muslim community, and a key Hindu festival was celebrated in Srinagar for the first time 20 years. A Pandit organization in the city hopes to reopen 60 more temples in the valley this year. Muslim leaders admit more needs to be done, both in providing homes and jobs and in building sufficient trust to persuade Hindus to return. Occasions at which the community comes together include the religious festivals it has traditionally marked. On a recent afternoon in the Lajpat Nagar neighborhood of Delhi, scores of Kashmiri Hindus gathered to celebrate perhaps the most important, Shivaratri, or the “Night of Shiva”.
In January 19, 1990, the Hindus of Kashmir, better known as the Kashmiri Pandits, were forced to flee the valley between the Great Himalayas and the Pir Panjal mountains in which their families had lived for centuries. In just three months, more than 400,000 Hindus were scattered across India and beyond. Hundreds, perhaps thousands, were killed. Two decades later, fewer than 3,000 Hindus remain and the government of India says it is determined to help those who want to return to the homes they were forced to leave. But the Pandits say the government does little but talk. Even now, many are still enduring lives of quiet misery in inadequate refugee camps.
Jumat, 05 Maret 2010
Gubernur Bali Resmikan Pembangunan Markandeya Yoga City
(Bali Post) - GUBERNUR Bali Made Mangku Pastika membuka secara resmi even International Bali India Yoga Festival (IBIYF II) II yang diselenggarakan di Banjar Gunung Sari, Desa Tegal Linggah, Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng, Kamis (4/3) kemarin. Pada saat bersamaan Gubernur juga meresmikan dimulainya pembangunan pusat yoga internasional Markandeya Yoga City yang diprakarsai Yayasan Bali India (Bali India Foundation). Pembukaan IBIYF II ditandai dengan pemukulan gong sebanyak lima kali, sementara peresmian pembangunan Markandeya Yoga City ditandai dengan peletakan batu pertama serta mendem pedagingan.
Markandeya Yoga City merupakan salah satu pusat pendidikan spiritual, khususnya yoga, yang diharapkan mampu menjadi tempat belajar yoga terbesar di dunia. Dr. Somvir (Ketua Yayasan Bali India) dan Prof. Nyoman Sirta (Ketua Panitia IBIYF II) mengemukakan, dipilihnya Banjar Gunung Sari Desa Tegal Linggah, Kecamatan Sukasada sebagai lokasi pembangunan Markandeya Yoga City karena memiliki sejarah sangat erat dengan perjalanan spiritual Rsi Markandeya, tokoh spiritual Hindu asal India yang mendirikan Pura Besakih.
Menurut kedua tokoh ini, Rsi Markandeya beryoga di lokasi ini sebelum melakukan persembahyangan di Tirta Kuning dekat Danau Tamblingan hingga akhirnya menanam panca datu di Pura Basukian, Besakih.
Itulah sebabnya, kata keduanya, Yayasan Bali India memilih lokasi ini dan sekaligus mengabadikan nama Rsi Markandeya. ''Kami ingin membawa citra Bali ke seluruh dunia, dan ini merupakan tempat pendidikan yoga yang terluas di dunia,'' ujar Dr. Somvir seraya menambahkan perlu waktu lama untuk mewujudkan daerah ini sesuai harapan.
Pembangunan pusat pendidikan yoga ini mendapat dukungan penuh dari penduduk setempat dimana luas keseluruhannya diperkirakan mencapai 11 hektar.
Gubernur Bali Made Mangku Pastika dan Wakil Bupati Buleleng Made Arga Pynatih dalam sambutannya mengemukakan, momentum peresmian pembangunan pusat yoga dan pembukaan IBIYF II ini merupakan momentum yang sangat bersejarah.
Menurut kedua pemimpin ini, peletakan batu pertama Markandeya Yoga City ini merupakan pertanda dimulainya suatu pembangunan dan pengembangan agama, adat dan budaya yang sejak berabad-abad lamanya telah dijadikan pedoman oleh masyarakat Bali.
Gubernur Bali Made Mangku Pastika berharap, dengan dibangunnya Markandeya Yoga City Bali yang sudah dikenal dengan berbagai predikat akan semakin dikenal sebagai provinsi damai dan demokrasi. ''Hari ini dilakukan upaya menapak kembali jejak spiritual Rsi Markandeya untuk meletakkan dasar-dasar agama Hindu di Indonesia. Kita berharap, mulai hari ini Bali akan memancarkan aura spiritual yoga kepada dunia bahwa Bali senantiasa mengumandangkan kedamaian sebagaimana doa yang setiap hari disampaikan orang Bali, Shantih, Shantih, Shantih,'' kata Gubernur.
Sebagai pribadi dan pimpinan pemerintahan di Bali, Gubernur menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang tinggi kepada Yayasan Bali India dan masyarakat Gunung Sari pada khususnya, dan masyarakat Buleleng pada umumnya. Berkaitan pembangunan pusat yoga ini, sebelumnya Gubernur berkesempatan mapunia 100 truk batu kapur (limestone) untuk pengerasan badan jalan sepanjang 3 km menuju lokasi. (r)
Markandeya Yoga City merupakan salah satu pusat pendidikan spiritual, khususnya yoga, yang diharapkan mampu menjadi tempat belajar yoga terbesar di dunia. Dr. Somvir (Ketua Yayasan Bali India) dan Prof. Nyoman Sirta (Ketua Panitia IBIYF II) mengemukakan, dipilihnya Banjar Gunung Sari Desa Tegal Linggah, Kecamatan Sukasada sebagai lokasi pembangunan Markandeya Yoga City karena memiliki sejarah sangat erat dengan perjalanan spiritual Rsi Markandeya, tokoh spiritual Hindu asal India yang mendirikan Pura Besakih.
Menurut kedua tokoh ini, Rsi Markandeya beryoga di lokasi ini sebelum melakukan persembahyangan di Tirta Kuning dekat Danau Tamblingan hingga akhirnya menanam panca datu di Pura Basukian, Besakih.
Itulah sebabnya, kata keduanya, Yayasan Bali India memilih lokasi ini dan sekaligus mengabadikan nama Rsi Markandeya. ''Kami ingin membawa citra Bali ke seluruh dunia, dan ini merupakan tempat pendidikan yoga yang terluas di dunia,'' ujar Dr. Somvir seraya menambahkan perlu waktu lama untuk mewujudkan daerah ini sesuai harapan.
Pembangunan pusat pendidikan yoga ini mendapat dukungan penuh dari penduduk setempat dimana luas keseluruhannya diperkirakan mencapai 11 hektar.
Gubernur Bali Made Mangku Pastika dan Wakil Bupati Buleleng Made Arga Pynatih dalam sambutannya mengemukakan, momentum peresmian pembangunan pusat yoga dan pembukaan IBIYF II ini merupakan momentum yang sangat bersejarah.
Menurut kedua pemimpin ini, peletakan batu pertama Markandeya Yoga City ini merupakan pertanda dimulainya suatu pembangunan dan pengembangan agama, adat dan budaya yang sejak berabad-abad lamanya telah dijadikan pedoman oleh masyarakat Bali.
Gubernur Bali Made Mangku Pastika berharap, dengan dibangunnya Markandeya Yoga City Bali yang sudah dikenal dengan berbagai predikat akan semakin dikenal sebagai provinsi damai dan demokrasi. ''Hari ini dilakukan upaya menapak kembali jejak spiritual Rsi Markandeya untuk meletakkan dasar-dasar agama Hindu di Indonesia. Kita berharap, mulai hari ini Bali akan memancarkan aura spiritual yoga kepada dunia bahwa Bali senantiasa mengumandangkan kedamaian sebagaimana doa yang setiap hari disampaikan orang Bali, Shantih, Shantih, Shantih,'' kata Gubernur.
Sebagai pribadi dan pimpinan pemerintahan di Bali, Gubernur menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang tinggi kepada Yayasan Bali India dan masyarakat Gunung Sari pada khususnya, dan masyarakat Buleleng pada umumnya. Berkaitan pembangunan pusat yoga ini, sebelumnya Gubernur berkesempatan mapunia 100 truk batu kapur (limestone) untuk pengerasan badan jalan sepanjang 3 km menuju lokasi. (r)
Berebut Sumbangan, 63 Orang Tewas di Kuil
Liputan6.com, Lucknow: Ternyata tidak hanya di Indonesia saja, pembagian sembako gratis berujung maut. Di India pembagian sumbangan juga dapat mematikan. Menurut pejabat senior pemerintah India jumlah korban tewas akibat berebut sumbangan di sebuah kuil mencapai 63 orang dan puluhan lainnya terluka akibat terinjak. Demikian dirilis Associated Press, Kamis (4/3).
Pejabat setempat, Ashok Kumar, mengatakan kerumunan ribuan orang yang berdesakan juga menyebabkan gerbang di kompleks candi di Kunda, roboh. Sementara, Brij Lal, pejabat kepolisian setempat kedatangan ribuan warga miskin di kuil untuk menerima paket sedekah yang berisi pakaian dan beberapa peralatan, dalam upacara peringatan kematian istri pemimpin spritual Hindu, Kripalu Maharaj.
Sumber Associated menyebutkan pembagian sedekah berujung maut di kuil di India, merupakan hal lumrah. Di daerah terpencil dan tidak memiliki fasilitas untuk mengontrol pertemuan besar, ratusan hingga ribuan orang yang berkumpul berdesakan dapat menyebabkan kematian. Sumber kantor berita Perancis AFP menyebutkan, setidaknya 220 orang tewas terinjak di kuil Hindu, Mehrangarh Fort, di kaki gunung Himalaya, 2008 lalu.(AYB)
Pejabat setempat, Ashok Kumar, mengatakan kerumunan ribuan orang yang berdesakan juga menyebabkan gerbang di kompleks candi di Kunda, roboh. Sementara, Brij Lal, pejabat kepolisian setempat kedatangan ribuan warga miskin di kuil untuk menerima paket sedekah yang berisi pakaian dan beberapa peralatan, dalam upacara peringatan kematian istri pemimpin spritual Hindu, Kripalu Maharaj.
Sumber Associated menyebutkan pembagian sedekah berujung maut di kuil di India, merupakan hal lumrah. Di daerah terpencil dan tidak memiliki fasilitas untuk mengontrol pertemuan besar, ratusan hingga ribuan orang yang berkumpul berdesakan dapat menyebabkan kematian. Sumber kantor berita Perancis AFP menyebutkan, setidaknya 220 orang tewas terinjak di kuil Hindu, Mehrangarh Fort, di kaki gunung Himalaya, 2008 lalu.(AYB)
Kamis, 04 Maret 2010
Mutiara Bhagavad-Gita
Tak menyakiti, kedamaian dalam segala situasi, rasa puas dengan apa yang ada, tekad ke arah spiritual, keinginan untuk memberi, kemasyhuran dan kehinaan -- semua hal yang berbeda dari makhluk-makhluk ini terpancar dari-Ku semata.
Yang Maha Esa bukan saja merupakan asal-usul alam semesta ini, Yang Tak Terlihat dan Tak Terbayangkan oleh kita, tetapi juga merupakan Kekuatan Maha Dahsyat Yang Tak Terbatas di alam semesta ini. Dia Bukan saja merupakan asal-usul yang baik saja tetapi la juga pencipta yang tidak baik dan negatif sifatnya yang berada di dalam pikiran dan ulah para makhluk ciptaan-Nya. Apakah itu pikiran atau situasi yang menyenangkan atau menyusahkan. Apakah itu bersifat positif maupun sebaliknya, semua itu berasal dari-Nya. Dia adalah sumber dari segala-galanya tanpa diskriminasi. Bukan berarti bahwa Yang Maha Esa ini buruk atau negatif sifatnya, tidak! Semua itu adalah ciptaan-ciptaan-Nya yang diperankan atau ditugaskan pada Sang Maya, Ilusi Yang Maha Esa. Dia sendiri bersemayam di atas semua ilusi ini, jauh di atas Sang Maya dan tak terpengaruh sedikitpun dengan pekerjaan Sang Maya ini. Dengan semua "permainan-Nya", maka Yang Maha Esa ini menunjang dan menjalankan dunia ini, memang Maha Misterius Dan Maha Gaib keberadaan Yang Maha Kuasa ini dengan segala Kekuatan dan Kasihnya Yang Tak Terbatas itu. Om Tat Sat. Om Shanti Shanti Shanti Om.
Fifteen Fabulous Festivals
Source: www.hinduismtoday.com/festivals/
KAPAA, HI, USA, March 2, 2010: Hinduism Today is reaching out with accurate and uplifting information about Hinduism for Hindu communities and your local newspapers. And you can help.
Imprecise information, unflattering photos and an obsession for the bizarre are common when the media features our faith. For most Hindus, there seems little or nothing that can be done about this, except to practice detachment and soulful acceptance. That was the tone at a 2007 Hindu conference in Dallas, Texas, when suddenly the leaders collectively declared “Enough.” Determined to complain less and do more, they masterminded the Hindu Festival Media Initiative, a strategic project designed by Hinduism Today in collaboration with the Sanatana Dharma Foundation.
We selected fifteen major festivals as the core of the project and, in collaboration with Soumya Sitaraman of Bangalore, created a series of “pagers,” ready-to-print, newspaper-sized posters. They match standard US newspapers in journalistic style and size, making them easy to use, especially for small publishers with limited staff.
Newspapers (especially in these days of budgetary cutbacks) welcome input from faith communities if the material is of high editorial quality, with polished text and eye-catching photos, more so if it’s free. Motivated Hindus are encouraged to approach their local newspapers’ religion or lifestyle editors with the appropriate pager in the weeks before each festival. Editors may elect to use them as is, or draw from the graphics and words and adapt them to their own style. Television and public radio stations can also be approached; the pagers can provide a comprehensive and authentic summary for voice-overs. They are available on the web as teaching resources for families, schools, summer camps, temples, ashrams, bloggers, etc.
Talk to your local temple board, the local Hindu association and newspapers in your area. On this page you will find PDF’s of the pages. Download the PDF and take it to the editor of your local newspaper, or send them the URL to come to this page you are reading with the link http://www.hinduismtoday.com/festivals/
No matter where you live, these festival summaries will provide your local media with informative, factual information about your faith. By preemptively explaining how Hindus experience and understand Sanatana Dharma, we bridge the we-they cultural gap and participate proactively in bringing more tolerance, acceptance and understanding into the world.
KAPAA, HI, USA, March 2, 2010: Hinduism Today is reaching out with accurate and uplifting information about Hinduism for Hindu communities and your local newspapers. And you can help.
Imprecise information, unflattering photos and an obsession for the bizarre are common when the media features our faith. For most Hindus, there seems little or nothing that can be done about this, except to practice detachment and soulful acceptance. That was the tone at a 2007 Hindu conference in Dallas, Texas, when suddenly the leaders collectively declared “Enough.” Determined to complain less and do more, they masterminded the Hindu Festival Media Initiative, a strategic project designed by Hinduism Today in collaboration with the Sanatana Dharma Foundation.
We selected fifteen major festivals as the core of the project and, in collaboration with Soumya Sitaraman of Bangalore, created a series of “pagers,” ready-to-print, newspaper-sized posters. They match standard US newspapers in journalistic style and size, making them easy to use, especially for small publishers with limited staff.
Newspapers (especially in these days of budgetary cutbacks) welcome input from faith communities if the material is of high editorial quality, with polished text and eye-catching photos, more so if it’s free. Motivated Hindus are encouraged to approach their local newspapers’ religion or lifestyle editors with the appropriate pager in the weeks before each festival. Editors may elect to use them as is, or draw from the graphics and words and adapt them to their own style. Television and public radio stations can also be approached; the pagers can provide a comprehensive and authentic summary for voice-overs. They are available on the web as teaching resources for families, schools, summer camps, temples, ashrams, bloggers, etc.
Talk to your local temple board, the local Hindu association and newspapers in your area. On this page you will find PDF’s of the pages. Download the PDF and take it to the editor of your local newspaper, or send them the URL to come to this page you are reading with the link http://www.hinduismtoday.com/festivals/
No matter where you live, these festival summaries will provide your local media with informative, factual information about your faith. By preemptively explaining how Hindus experience and understand Sanatana Dharma, we bridge the we-they cultural gap and participate proactively in bringing more tolerance, acceptance and understanding into the world.
Exploring Hinduism Today’s April/May/June Issue, Now Available
Source: www.hinduismtoday.com
KAPAA, HI, USA, March 2, 2010: The April-May-June edition of Hinduism’s flagship spiritual magazine, Hinduism Today is now available on bookstores and newsstands everywhere and also in digital format. This issue brings you a new installment of our acclaimed Hindu History for Children insight and a feature on the power and magic of Hindu festivals.
In this issue we explore 15 of the major Hindu holy days in the 32-page feature “Festivals!” It’s a marvelous romp through the year, stopping every month or so to tell about our celebrations. Festivals bind Hindu culture to the devotees, touching our lives, connecting families and neighbors, bringing together entire cities. Soumya Sitaraman, author of Random House’s “Following the Hindu Moon” helped the Hinduism Today editorial staff by contributing fascinating details, typical holiday recipes and her mother’s marvelous photography. The editors added “Fact & Fiction” sections to explore (and emend) some of the gnarly myths that people in the West hold about Sanatana Dharma. This is a great resource that can find its way into the schoolroom, the summer camp, anywhere students are learning about Hinduism past and present. As you would expect, it is elegantly designed by the HT team. See more about this interactive initiative to strengthen the Hindu world in the next HPI article, below.
A 16-page history lesson is the fourth in our series aimed at a sixth-grade audience. It covers the period from 1850 to 1947, when India was colonized by the British. As our readers know, Indian history in Western textbooks for children is appallingly inaccurate and skewed toward the strange. This segment continues our effort to rectify that, to give well-researched lessons that tell the true story of India’s place in the world down through the centuries. Here we present the facts about the British occupancy, their economic exploitation and sometimes ruthless repressions. Get ready to discover lots of new insights into those difficult days before Independence.
When our publisher, Satguru Bodhinatha Veylanswami, was in Melbourne in December, he gave a wonderful keynote talk on yoga and its place in the world, particularly its applicability to nonHindus. His current editorial gives us a glimpse of that talk, “Can Everyone Benefit from Yoga?”
And Bodhinatha’s Australian itinerary included the 2009 Parliament of the World’s Religions, touted as the world’s largest interfaith meeting–a reprise of the 1893 meeting that featured Swami Vivekananda. As part of the 2009 program, a rare gathering of Hindu leaders from around the world met to discuss key modern issues, trends and challenges. Our story brings you the opinions of the swamis who attended from all over the world. Their views of climate change, one of the key topics in Melbourne, will inform and perhaps surprise you.
Rabu, 03 Maret 2010
Renungan Pagerwesi Pagari Diri dengan Pengetahuan Spiritual
Bali Post, 03 Maret 2010
Hari ini Rabu Kliwon (3/3) Wuku Sinta umat Hindu kembali merayakan hari Raya Pagerwesi. Hari raya siklus enam bulanan ini merupakan rangkaian perayaan Saraswati. Apa sesungguhnya hakikat Pagerwesi?
PERAYAAN Pagerwesi masih rangkaian Saraswati. Diawali dengan perayaan Saraswati kemudian Banyupinaruh, Soma Ribek, Sabuh Mas dan Pagerwesi. Bahkan menurut dosen Universitas Hindu Indonesia (Unhi) Denpasar I Wayan Suka Yasa dan Wayan Budi Utama, perayaan rangkaian rerahinan itu juga mengandung konsep Catur Purusa Arthadharma, artha, kama dan moksha. Ketika ilmu pengetahuan diturunkan Sang Pencipta melalui simbol Dewi Saraswati, di sana terdapat konsep dharma. Selanjutnya, setelah ilmu pengetahuan dan keterampilan dikuasai kemudian digunakan untuk mencari artha. Konsep artha itu tercermin dalam perayaan Soma Ribek. Artha itu kemudian digunakan untuk memperoleh kesenangan (kama), tergambar dalam perayaan rerahinan Sabuh Mas. Sabuh Mas dikonotasikan serba gemerlap.
Nah, agar kita tidak larut begitu saja pada kebahagiaan jasmani (lahiriah) berupa artha dan kama, pada perayaan Pagerwesi-lah kita diingatkan agar memagari diri sekuat besi dengan pengetahuan spiritual agar mencapai kebahagiaan rohani (batiniah). Dengan demikian terjadi keseimbangan antara kebahagiaan jasmani dan rohani yakni mokshartam atau jiwanmukti. Dalam Pagerwesi inilah terkandung konsep moksha. Jadi, rangkaian rerahinan dari Saraswati hingga Pagerwesi juga sesungguhnya mengandung konsep Catur Purusa Artha, kata Suka Yasa yang dibenarkan Budi Utama.
Budi Utama menambahkan, Hindu sesungguhnya tidak alergi dengan artha dan kama, tetapi kita tidak boleh sampai terikat atau tergerus oleh keduanya. Untuk mencari keduanya mesti dilandasi dharma. Karena itu diperlukan pengendalian berupa kekuatan spiritual. Jika materi dianggap mengganggu, bentengi diri dengan spiritualitas sehingga mampu menghadapi problema kehidupan di dunia. Dengan demikian kita bisa mengendalikan hidup ini munuju arah kesempurnaan,'' ujarnya.
Paramesti Guru
Sementara itu guru besar Unhi Prof. Dr. IB Gunadha, M.Si. mengatakan dalam perayaan Pagerwesi ini umat memuja Ida Sang Hyang Widi dalam manifestasinya sebagai Siwa Mahaguru atau Hyang Paramestiguru--guru dari segala guru. Lewat bimbingan gurulah kita dapat mengusai pengetahuan dengan baik.
Kaweruhan atau ilmu pengetahuan yang telah diperoleh hendaknya dijadikan benteng yang kuat menghadapi tantangan hidup. Ilmu pengetahuan itu hendaknya dijadikan bekal untuk mencapai tujuan hidup yakni kesejahteraan dan ketenangan batin.
Dalam perayaan Pagerwesi inilah umat sejatinya diajarkan tentang kewaspadaan menghadapi berbagai tantangan. Dengan demikian kita penuh kesadaran. Saat kita menghadapi berbagai tantangan, kita sejatinya diajarkan menarik diri ke dalam yakni merenung. Dengan demikian kita dapat dengan jelas melihat persoalan sehingga mampu mencari solusi pemecahannya atau memperoleh jalan yang terang tetap berada di jalur kebenaran.
Dikatakannya, untuk mempelajari ilmu pengetahuan yang diturunkan saat Saraswati, kita sesungguhnya memerlukan guru. Dalam hal ini peran guru sangatlah mulia. Saat Pagerwesilah umat memuja Tuhan dalam manifestasinya sebagai mahaguru. ''Setelah umat mendapat ilmu pengetahuan, teori pengetahuan itu perlu dipraktikkan atau diimplementasikan. Dalam mengimplementasikan itu perlu guru pembimbing agar tidak disalahgunakan.
Juri Ogoh-ogoh Menuai Protes
DENPASAR, Radar Bali - Para juri lomba ogoh-ogoh di Denpasar mulai menuai protes. Bahkan, protesnya tidak dilakukan oleh satu kelompok. Sebut saja di Banjar Batanbuah, Wangaya Kaja dan Banjar Lebah. Kedua banjar ini membentangkan spanduk bernada protes atas penilaian para juri di masing-masing kecamatan.
Menurut Sudira, salah satu pembuat ogoh-ogoh, juri tidak melakukan pekerjaannya dengan baik dan kurang objektif. Sedangkan Ketua Panitia Nyoman Astita mengungkapkan, timbulnya protes terhadap penilaian juri, terutama Sekaha Truna-Truni (STT) sangat wajar karena setiap STT menganggap bahwa ogoh-ogoh hasil karyanya yang terbaik. "Protes wajar, karena semua STT menganggap ogoh-ogohnya yang terbagus dan terbaik," ungkap Astita.
Tapi Astita memastikan penilaian yang dilakukan juri di tingkat kecamatan sudah sesuai dengan kriteria penilaian seperti tingkat kreatifitas, bentuk ogoh-ogoh, penampilan, serta komposisi ogoh-ogoh itu sendiri. Setiap ogoh-ogoh pasti memiliki sisi baik dan sisi buruk. Tergantung bagaimana seseorang melihat ogoh-ogoh itu sendiri. "Setiap ogoh-ogoh pasti ada sisi baik dan buruk relatif tergantung yang memandang," pungkas Astita.
Penilaian sendiri telah berakhir Senin (1/3) lalu. Panitia penjurian lomba ogoh-ogoh sudah mengumumkan secara resmi 24 nominasi lomba tingkat Denpasar. Masing-masing kecamatan diambil enam besar peserta lomba. Tapi dalam penilaian tersebut, tidak semua peserta lomba menerima hasil penjurian tingkat kecamatan.
Ngebet Kawin, Gajah Ngamuk di Upacara Agama
NEW DELHI - Seekor gajah yang disewa dalam acara pernikahan upacara keagamaan Hindu di India tiba-tiba mengamuk dan bergerak tidak terkendali. Sikap itu
karena si gajah jantan melihat ada seekor gajah betina.
Langsung saja gajah jantan mengejar si gajah betina. Gajah dambaan hati pejantan itu berada di ladang tebu di wilayah Ibukota India, New Delhi. Mamalia besar itu pun langsung mengejarnya.
"Ia kemudian mengambil ancang-ancang dan menunggangi sebuah truk seakan gajah jantan itu mengawini gajah betina," ujar Suratkabar Metro seperti dikutip ananova.com, Selasa (2/3/2010).
Hewan mamalia yang sedang naik birahinya itu menghancurkan 20 mobil limo, dan menghancurkan sebuah pusat perbelanjaan. Ia mengamuk selama 15 jam.
Total kerugian yang ditimbulkan, ditaksir mencapai 200 ribu poundsterling atau sekira Rp2,8 miliar.
Akhirnya, tragedi gajah kebelet kawin ini bisa dikendalikan, setelah ahli satwa liar berhasil untuk menghentikan kekacauan dengan senapan bius.
Sumber: Okezone
Selasa, 02 Maret 2010
Sejumlah Candi di Temanggung Tak Terawat
Temanggung (ANTARA News) - Aset pariwisata di Kabupaten Temanggung, yakni Candi Gondosuli di Kecamatan Bulu dan Candi Pringapus di Kecamatan Ngadirejo tidak terawat.
Berdasarkan pantauan, Senin, jalan menuju lokasi Candi Gondosuli tidak terdapat papan penunjuk jalan, padahal candi yang sebagian masih terpendam dalam tanah ini sejak lama dikembangkan sebagai salah satu aset wisata di Temanggung.
Kondisi tersebut membuat pengunjung dari luar daerah agak kesulitan untuk menemukan lokasi candi karena berada di pelosok desa.
Di kawasan candi juga tidak terdapat papan nama yang menunjukan keberadaan candi di lereng Gunung Sumbing itu.
Candi bercorak perpaduan antara budaya Hindu dan Buddha ini dibiarkan kotor penuh lumut dan sampah berserakan di lantai candi bahkan di salah satu batu candi terdapat obat penyemprot hama dan beberapa alat-alat pertanian.
Bangunan peninggalan sejarah tersebut sudah diberi pagar kawat keliling sejak tiga bulan lalu. Di pelataran candi ditanami tanaman cabai.
Warga Gondosuli, Marhani mengatakan sebagian bangunan candi diperkirakan masih tertimbun tanah namun penggalian tidak pernah dilanjutkan.
Menurut dia, jika warga hendak menggali tanah untuk pemakaman di sekitar lokasi candi masih menemukan batuan yang sama persis dengan batuan candi.
"Hal ini menandakan bahwa masih ada bangunan candi yang terkubur, tetapi tidak pernah digali lagi," katanya.
Sementara itu Candi Pringapus yang terletak di lereng Gunung Sindoro kondisinya lebih tertata. Kompleks candi berukuran 30 x 20 meter ini sudah ada seorang petugas dan seorang satpam. Pintu masuk candi sudah diberi papan nama.
Rumput di pelataran candi dipotong rapi dan di kantor berukuran kecil tempat penjaga disediakan buku tamu atau pengunjung.
Namun, di bagian dalam candi juga dipenuhi lumut. Setiap sore hari sekitar pukul 14:00 WIB hingga pukul 18:00 WIB pelataran candi dijadikan ajang aduan burung merpati oleh warga sekitar sehingga kotoran burung merpati banyak menempel di pelataran candi dan sebagian menempel di batuan candi.
"Sebenarnya kami sudah berkali-kali mengingatkan warga agar tidak bermain burung merpati di kawasan candi. Tetapi setiap sore mereka selalu datang ke sini untuk mengadu merpati," kata Satpam Candi Pringapus, Daryono.
Menurut dia kegiatan aduan burung merpati setiap sore ini mengganggu pengunjung. "Tetapi kami tidak bisa berbuat apa-apa," katanya.
Ia menyebutkan jumlah pengunjung ke candi tersebut cukup lumayan, setiap bulan sekitar 50-100 orang. Mereka antara lain berasal dari Jepang, Australia, Belanda, dan wisatawan nusantara.(Ant/K004)
Berdasarkan pantauan, Senin, jalan menuju lokasi Candi Gondosuli tidak terdapat papan penunjuk jalan, padahal candi yang sebagian masih terpendam dalam tanah ini sejak lama dikembangkan sebagai salah satu aset wisata di Temanggung.
Kondisi tersebut membuat pengunjung dari luar daerah agak kesulitan untuk menemukan lokasi candi karena berada di pelosok desa.
Di kawasan candi juga tidak terdapat papan nama yang menunjukan keberadaan candi di lereng Gunung Sumbing itu.
Candi bercorak perpaduan antara budaya Hindu dan Buddha ini dibiarkan kotor penuh lumut dan sampah berserakan di lantai candi bahkan di salah satu batu candi terdapat obat penyemprot hama dan beberapa alat-alat pertanian.
Bangunan peninggalan sejarah tersebut sudah diberi pagar kawat keliling sejak tiga bulan lalu. Di pelataran candi ditanami tanaman cabai.
Warga Gondosuli, Marhani mengatakan sebagian bangunan candi diperkirakan masih tertimbun tanah namun penggalian tidak pernah dilanjutkan.
Menurut dia, jika warga hendak menggali tanah untuk pemakaman di sekitar lokasi candi masih menemukan batuan yang sama persis dengan batuan candi.
"Hal ini menandakan bahwa masih ada bangunan candi yang terkubur, tetapi tidak pernah digali lagi," katanya.
Sementara itu Candi Pringapus yang terletak di lereng Gunung Sindoro kondisinya lebih tertata. Kompleks candi berukuran 30 x 20 meter ini sudah ada seorang petugas dan seorang satpam. Pintu masuk candi sudah diberi papan nama.
Rumput di pelataran candi dipotong rapi dan di kantor berukuran kecil tempat penjaga disediakan buku tamu atau pengunjung.
Namun, di bagian dalam candi juga dipenuhi lumut. Setiap sore hari sekitar pukul 14:00 WIB hingga pukul 18:00 WIB pelataran candi dijadikan ajang aduan burung merpati oleh warga sekitar sehingga kotoran burung merpati banyak menempel di pelataran candi dan sebagian menempel di batuan candi.
"Sebenarnya kami sudah berkali-kali mengingatkan warga agar tidak bermain burung merpati di kawasan candi. Tetapi setiap sore mereka selalu datang ke sini untuk mengadu merpati," kata Satpam Candi Pringapus, Daryono.
Menurut dia kegiatan aduan burung merpati setiap sore ini mengganggu pengunjung. "Tetapi kami tidak bisa berbuat apa-apa," katanya.
Ia menyebutkan jumlah pengunjung ke candi tersebut cukup lumayan, setiap bulan sekitar 50-100 orang. Mereka antara lain berasal dari Jepang, Australia, Belanda, dan wisatawan nusantara.(Ant/K004)
"Ogoh-ogoh", Wahana Menuju Keinsyafan Manusia
Denpasar - Menjelang Hari Suci Penyepian, peristiwa dan prosesinya nyaris mirip dari tahun ke tahun, yaitu tiap banjar (pemangkuan adat setingkat dusun) di Bali berlomba-lomba membuat "ogoh-ogoh" sebaik dan semenarik mungkin. Kalau bisa lebih berseni, rumit, dan lebih mutakhir, maka "ogoh-ogoh" itu diharapkan bisa menaikkan martabat banjar yang membuatnya.
Pada tahun ini, Hari Suci Penyepian akan tiba pada 16 Maret nanti, sebagai tanda Tahun Baru Saka 1932 dimulai. Layaknya perayaan agama yang bersisian dengan kegembiraan penganutnya, maka umat Hindu juga bersuka-ria menyambut kehadiran tahun baru itu dibarengi dengan perenungan tentang yang telah terjadi dan dilakukan selama ini.
Demikianlah, "ogoh-ogoh" menjadi satu ikon ritual yang sangat penting dalam ritual perayaan Nyepi. Dia akan diarak ke berbagai penjuru banjar, kota, dan bahkan kawasan, sebagai perlambang kehadiran alias personifikasi pribadi Sang Bhuta Kala dalam alam mayapada ini.
"Ogoh-ogoh" adalah karya seni yang menggambarkan kepribadian Bhuta Kala itu, yang merepresentasikan kekuatan alam semesta (Bhuta) dan waktu (Kala) yang tak terukur dan tak terbantahkan.
Secara penampakannya, perwujudan patung Bhuta Kala itu sering digambarkan sebagai sosok yang besar dan menakutkan, biasanya dalam wujud raksasa. Selain wujud itu, "ogoh-ogoh" sering pula digambarkan sebagai makhluk-makhluk yang hidup di mayapada, surga dan neraka, di antaranya naga, gajah, garuda, widyadari, bahkan dewa.
Raksasa adalah bangsa pemakan daging manusia atau kadang-kadang sebagai bangsa kanibal dan dilukiskan dalam Yakshagana, sebuah seni populer dari Karnataka. Mitologi Hindu dan Buddha menyatakan, kata "raksasa" berarti kekejaman, lawan kata dari "raksha" atau kesentosaan.
Agaknya mustahil jika membahas kekayaan budaya dan religi Hindu tanpa membahas kitab Ramayana dan Mahabharata atau syair suci Bhagawad-Gita. Kitab Ramayana menguraikan, "raksasa" diciptakan dari kaki Dewa Brahma. Di lain kisah, mereka muncul dari tokoh Pulastya, Khasa, Nirriti dan Nirrita.
Dewa Brahma juga dikatakan pernah memberikan berkah kepada raksasa yang memujanya, di antaranya Wibisana, Hiranyaksa, dan Hiranyakasipu. "Rakshasa" terkenal karena kejahatannya, kuku mereka beracun, dan mereka makan daging manusia atau makanan hasil rampasan, dan juga memiliki ilmu gaib serta mampu mengubah wujud menjadi manusia atau burung besar.
Namun, tidak selamanya raksasa berwujud seperti itu. Beberapa lahir dengan tubuh dan rupa manusia namun memiliki jiwa jahat selayaknya raksasa, seperti di antaranya Kamsa, Duryudana, Dursasana, Jarasanda, Sisupala, yang semuanya adalah tokoh dalam kisah Mahabharata.
Memang seolah orang Hindu itu diciptakan Tuhan dengan kreativitas seni sangat prima, maka pada masa kini "ogoh-ogoh" itu dikembangkan dan dielaborasikan dalam rupa dan konteks peristiwa aktual masa kini. Tidak heran jika kemudian Michael Jackson, raksasa seram menunggangi motor besar Harley-Davidson, dan bahkan teroris juga dijadikan "ogoh-ogoh".
Dalam fungsi utamanya, "ogoh-ogoh" sebagai representasi Bhuta Kala, dibuat menjelang Hari Nyepi dan diarak beramai-ramai keliling desa pada senja hari "pengerupukan", yaitu sehari sebelum Hari Suci Penyepian. Menurut para cendekiawan dan praktisi Hindu Dharma, proses ini melambangkan keinsyafan manusia akan kekuatan alam semesta dan waktu yang maha dashyat.
Kekuatan tersebut meliputi kekuatan Bhuana Agung (alam raya) dan Bhuana Alit (diri manusia). Dalam pandangan Tattwa (filsafat), kekuatan ini dapat mengantarkan makhluk hidup, khususnya manusia dan seluruh dunia menuju kebahagiaan atau kehancuran.
Semua ini tergantung pada niat luhur manusia, sebagai makhluk Tuhan yang paling mulia dalam menjaga dirinya sendiri dan seisi dunia.
Nyepi
Hari Suci Penyepian adalah hari raya umat Hindu Dharma yang dirayakan setiap Tahun Baru Saka. Hari suci ini jatuh pada hitungan "tilem kesanga", yang dipercayai hari penyucian dewa-dewa di pusat samudera, yang membawa intisari "amerta" air kehidupan, sehingga umat Hindu melakukan pemujaan suci terhadap mereka.
Tujuan utama Hari Raya Nyepi sebagai bagian dari rangkaian perayaan yang lebih besar, adalah memohon ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa, untuk menyucikan Buwana Alit (alam manusia) dan Buwana Agung (alam semesta). Hari Suci Nyepi tidak bisa lepas dari ritual "tawur" atau "pecaruan", "pengerupukan", dan "melasti".
Sehari sebelum Nyepi, yaitu pada "panglong ping 14 sasih kesanga", umat Hindu melaksanakan upacara Bhuta Yadnya di perempatan jalan dan lingkungan rumah masing-masing, dengan mengambil salah satu dari jenis-jenis "caru" sesuai kemampuannya.
"Tawur" atau "pecaruan" itu sendiri merupakan penyucian atau "pemarisuda" Bhuta Kala, dan segala "leteh" (kekotoran) diharapkan sirna semuanya.
Ritual "mecaru" diikuti upacara "pengerupukan", yaitu menyebar-nyebar nasi tawur, menyalakan obor di rumah dan seluruh pekarangan, serta memukul benda-benda apa saja hingga bersuara ramai alias gaduh.
Tahapan ini dilakukan untuk mengusir Bhuta Kala dari lingkungan rumah, pekarangan, dan lingkungan sekitar. Khusus di Bali (yang juga sudah mulai membudaya di daerah lain), "pengerupukan" biasanya dimeriahkan dengan pawai "ogoh-ogoh", yang merupakan perwujudan Bhuta Kala yang diarak keliling lingkungan dan kemudian dibakar.
Jika pada Hari Suci Nyepi suasananya sepi sama-sekali, maka pada "pengerupukan", keramaian melebihi pasar malam. "Ogoh-ogoh" menjadi satu hal nyata yang dinantikan kehadirannya oleh setiap orang, tidak saja sebagai benda seni namun juga sebagai benda religi dan tradisi. Tujuan pengarakan "ogoh-ogoh" itu sama, yaitu mengusir Bhuta Kala dari lingkungan sekitar.
Tahap terakhir Nyepi adalah "melasti", yaitu menghanyutkan segala "leteh" ke laut, serta menyucikan "pratima" (benda suci di dalam pura). Upacara di laut ini dikarenakan laut dianggap sumber amerta, dan selambat-lambatnya pada tilem sore, "melasti" itu harus selesai.
Keesokan harinya, yaitu pada "panglong ping 15" atau "tilem Kesanga", tibalah Hari Raya Nyepi sesungguhnya. Pada hari ini dilakukan puasa Nyepi yang disebut "Catur Brata Penyepian" yang terdiri dari "amati geni" (tidak menyalakan api), "amati karya" (tidak bekerja), "amati lelungan" (tidak bepergian), dan "amati lelanguan" (tidak menikmati hiburan).
"Brata" ini dilakukan sejak sebelum matahari terbit, karena diyakini segala hal yang bersifat peralihan, selalu didahului dengan perlambang gelap. Intisari dari perlambang-perlambang lahir itu (amati geni), menurut lontar "Sundari Gama" adalah untuk memutihbersihkan hati sanubari, yang merupakan kewajiban bagi umat Hindu.
Rangkaian terakhir dari perayaan Tahun Baru Saka adalah hari "ngembak geni" yang jatuh pada tanggal "ping pisan" atau "sasih kedasa". Pada hari inilah Tahun Baru Saka tersebut dimulai, saat umat Hindu Dharma bersimakrama dengan keluarga besar dan tetangga, saling maaf-memaafkan satu sama lain.
Dengan suasana baru, kehidupan baru akan dimulai dengan hati putih bersih. Jadi kalau tahun masehi berakhir tiap tanggal 31 Desember dan tahun barunya dimulai 1 Januari, maka tahun Saka berakhir pada "panglong ping limolas sasih kedasa", dan tahun barunya dimulai tanggal 1 "sasih kedasa".
Penganut Hindu Merayakan Maasi Magam
Sumber: mstar.com.my
PULAU PINANG: Lebih 25.000 penganut agama Hindu dari berbagai negara semalam membanjiri pantai Teluk Bahang untuk menyaksikan perayaan Maasi Magam yaitu arak-arakan membawa patung Dewi Sri Singamuga Kaliamman ke laut.
Menurut kepercayaan Hindu, Maasi berarti bulan menurut kalendar Tamil manakala Magam salah satu bintang dari 27 bintang dalam sistem astrologi Hindu dan satu perayaan dirayakan setiap tahun antara bulan Febuari dan Maret untuk mendapat restu Dewi yang dipercayai menjaga kawasan laut.
Pengurus kuil Sri Singamuga Kaliamman N.Ganesan berkata, pada tahun ini perayaan itu disambut pada 28 Febuari kerana "Maasi" dan "Magam" bertemu pada hari itu.
Katanya, perarakan itu hanya berlangsung di negeri ini dan menjadi acara tahunan.
Beliau berkata, menurut tradisi zaman dahulu, upacara Maasi Magam hanya dirayakan oleh golongan nelayan tetapi sekarang upacara itu dirayakan oleh penganut Hindu dengan berbagai profesi.
Ganesan berkata, pengurusan kuil Sri Singamuga Kaliamman yang terletak berdekatan dengan Hotel Mutiara Beach di Teluk Bahang telah mereka bentuk sejenis pedati terapung yang disebut "Theppa Thiruvila" dalam bahasa Tamil untuk membawa patung Dewi itu ke laut.
Sebelum upacara mengarak patung dewi itu ke laut sejauh 5 kilometer, penganut Hindu terlebih dahulu "mengandar" patung tersebut sejauh kira-kira 100 meter dari kuil yang berusia 113 tahun itu.
Setelah pedati terapung yang membawa dewi itu diarak ke laut dengan ditarik oleh sampan nelayan, penganut Hindu yang menyaksikan upacara itu akan melepaskan lilin berwarna-warni ke laut.
Perarakan itu diikuti oleh penganut Hindu yang kebanyakan dari Singapura, Thailand dan Indonesia.
Senin, 01 Maret 2010
Ogoh-ogoh, Gengsi antar Banjar
DENPASAR, Radar Bali - Hari Raya Nyepi tahun ini jatuh pada 16 Maret mendatang. Tapi, sejak sebulan terakhir hampir di setiap bale banjar sudah ada ogoh-ogoh yang digarap. Dan, kemarin rata-rata pengerjaannya sudah hampir selesai. Bahkan, sebagian sudah ada yang siap diarak. Sebelum diarak, pada pengerupukan, 15 Maret mendatang, ogoh-ogoh akan dinilai oleh pantiai lomba ogoh-ogoh Pemkot Denpasar.
Adanya penilaian dari Pemkot Denpasar ini membuat semangat masing-masing banjar untuk membuat ogoh-ogoh yang atraktif makin besar. Seperti pantaian Radar Bali, Sabtu (27/8) kemarin di beberapa lokasi. Ada berbagai jenish ogoh-ogoh. Mulai dari yang terbuat dari bahan dasar sederhana hingga bahan yang mahal berupa gypsum dan styrofoam. Penggunaan bahan dasar gypsum menyebabkan ongkos pembuatan membengkak. Dana bantuan yang diberikan Pemkot Denpasar kepada setiap kelompok sekaa teruna-teruni (STT) hanya sebesar Rp 3,5 juta. Sementara dana yang dihabiskan untuk pembuatan ogoh-ogoh dapat mencapai lebih dari Rp 10 juta.
Seperti kemarin di STT Yowana Saka Banjar Tainsiat. Mereka membuat ogoh-ogoh dengan memadukasn bahan gypsum dan styrofoam. Menurut STT ini, pemilihan kedua bahan tersebut untuk memberikan hasil yang terbaik, dan merupakan kreasi yang baru diciptakan. "Ogoh-ogoh dibuat dengan memadukan gypsum dan styrofoam untuk menghasilakan kreasi terbaik. Ini merupakan ciptaan yang terbaru dari saya," ungkap Keduk Sentana Putra, sang arsitek ogoh-ogoh.
Untuk memadukan kedua bahan tersebut, kata dia, memiliki tingkat kesulitan dan ketelitian yang tinggi. Untuk menyelesaikan ogoh-ogoh dilakukan proses finishing yang disesuaikan dengan gambaran bentuk ogoh-ogoh. "Saya memadukan kedua bahan ini, saat proses finishing dapat menghasilkan lekukan-lekukan tubuh yang natural sesuai yang diinginkan," tambah Keduk.
Sementara Ketua STT Yowana Saka Bhuwana Br. Tainsiat, Ketut Anggara Putra mengatakan kepada Radar Bali kemarin, dalam lomba ogoh-ogoh yang dilaksnakan kali ini benar-benar menunjukan kreatifitas. Persaingan dalam lomba ogoh-ogoh kali ini sangat terlihat. "Tapi saya optimistis dapat memperoleh hasil yang maksimal dalam lomba kali ini," ujar Anggara Putra.
Dana yang diambil untuk pembuatan ogoh-ogoh selain dari bantuan dari Pemkot Denpasar juga bersumber dari sumbangan warga sekitar banjar secara sukarela. (reg)
Bali Kurang 9 Ribu Guru Agama Hindu
DENPASAR, Radar Bali - Masalah guru Agama Hindu memang sudah menjadi momok di Bali. Protes akan langkanya pangangkatan guru Agama Hindu sudah berkumandang sejak Gubernur Dewa Beratha. Namun tetap saja hingga sekarang tetap kuota dari pusat seret. Padahal kalau dihitung secara riil, Bali kekurangan hingga 9 ribu guru Agama Hindu.
Wakil Ketua Komisi IV DPRD Bali Ketut Kariyasa Adnyana membenarkan Bali kekurangan 9 ribu guru Agama Hindu. Kondisi ini sangat parah bagi pendidikan Agama Hindu. Itu baru di Bali saja. Hal sama juga dirasakan di luar Bali. ''Sudah 9 ribu untuk Bali saja, belum di luar Bali yang merasakan hal sama, kekurangan guru Agama Hindu," tegas Kariyasa Adnyana kemarin (28/2).
Kariyasa memandang persoalan ini sangat krusial. Karena itu, gubernur, bupati/wali kota di Bali diajak untuk segera bersikap. Misalkan dalam pengajuan pengangkatan PNS agar memberikan ruang lebih bagi guru Agama Hindu.
Gubernur dan bupati/wali kota bisa saja menghadap menteri agama agar Permen Menteri Agama segera turun. ''Ini harus disadari, mesti diikuti kebijakan pemerintah agar membangun sekolah-sekolah Hindu untuk mampu mengambil peluang PP 50 tahun 2007 itu," sebutnya.
Selain itu, Kariyasa selaku perpanjangan rakyat mengaku dalam waktu cepat akan mendatangi Dirjen Bimas Hindu. Tujuannya menuntut agar jatah pengangkatan guru Agama Hindu diperbanyak untuk mengisi kekurangan saat ini. ''Kami akan tegaskan jika tidak ada kebijakan memberikan kuota lebih, tidak menutup kemungkinan guru Agama Hindu di Bali akan habis. Belum lagi para guru Agama Hindu banyak memasuki pensiun," tukasnya tanpa mau menyebut berapa jumlah guru Agama Hindu di Bali saat ini. (art)
Umat Hindu SeYogyakarta Gelar Upacara Melasti
Metrotvnews.com, Yogyakarta: Sekitar 1.000 umat Hindu seYogyakarta mengelar upacara melasti atau labuhan suci di Pura Segara Wukir, Pantai Ngobaran, Kecamatan Saptosari, Gunungkidul, Yogyakarta, Ahad (28/2). Upacara ini merupakan rangkaian Hari Raya Nyepi yang jatuh pada 16 Maret mendatang.
Upacara diawali kirab sajen dan gunungan ke Pura Segara Wukir. Sesajen dan gunungan diletakkan di dalam pura sebagai uba rambe atau persembahan. Sajen lalu dilarungkan ke laut dan gunungan dibiarkan diperebutkan warga. Gunungan itu berisi bermacam makanan. Inilah puncak acara yang disebut Gerebeg Nyepi.
Upacara Melasti menyimbolkan dibuangnya enam sifat buruk yang melekat pada manusia, yakni kama atau nafsu biologis, rakus, kemarahan, madha atau mabuk, kebingungan, dan iri hati. Pelaksanaan Melasti tahun ini terasa istimewa karena bertepatan dengan jatuhnya Banyu Pinaruh atau mansucikan diri setelah Hari Saraswati. Umat Hindu menganggap ini sebagai momen langka.
Ahli Alquran Bakal Berbicara di Seminar Yoga
Denpasar (ANTARA News) - Salman Harun, ahli Alquran dari Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta akan tampil sebagai salah seorang pembicara utama pada seminar internasional "Global Warming dalam Perspektif Yoga dan Solusinya" di Bali, awal Maret nanti.
Kegiatan dalam memeriahkan Internasional Bali-India Yoga Festival (IBIF) kedua ini berlangsung di Markandeya Yoga City, Banjar Gunung Sari, Buleleng, selama sepekan, 3-10 Maret 2010, kata Ketua Yayasan Bali-India Dr Somvir di Denpasar, Sabtu.
Ia mengatakan, selain Salman Harun, juga akan tampil Mrinalini Singh, ahli lingkungan, spritual dan pelukis asal India, kemudian Gejendra Singh dari India, Lalit Bakhshi dari Tokyo dan I Gusti Raka Panji Tisna, ahli spiritual asal Bali.
Seminar yang akan berlangsung setiap hari di sela-sela latihan yoga, kompetisi yoga dan kegiatan lainnya juga akan menampilkan Rektor Institut Hindu Dharma Indonesia Negeri (IHDN) Denpasar I Made Titib dengan kertas kerja berjudul "Membangun semangat persaudaraan, menjaga Ibu Pertiwi dan Persepektif Yoga".
Somvir menjelaskan, selain itu juga akan tampil Utang Ranuwijaya dari Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Selain seminar, Internasional Bali-India Yoga Festival II juga diisi dengan berbagai kegiatan seperti pementasan tari dan yoga serta kompetisi internasional yoga.
Semua kegiatan berlangsung di Markandeya Yoga City, sebuah lokasi yang kondisinya asri di kelilingi perbukitan dan menjadi sebuah desa bersejarah bagi perkembangan agama Hindu dan Islam.
Banjar Gunung Sari, Desa Tegal Linggah pernah disinggahi Resi Markandeya dari India sebelum meletakkan batu pertama pembangunan Pura Besakih, tempat suci umat Hindu terbesar di Pulau Dewata, demikian Somvir.
Minggu, 28 Februari 2010
Gonjang-ganjing Anand Krishna (3)
Anand Krishna Dituding Sebarkan Ajaran Sesat
TEMPO Interaktif, Jakarta - Guru spiritual Anand Krishna dituding menyebarkan aliran sesat dengan meminta murid-muridnya murtad dari agama yang semula diimani pengikutnya.
Kuasa hukum Tara Pradipta Laksi, korban pelecehan Anand, Agung Mattauch mengatakan, pengikut aliran spiritual itu sering disindir jika masih menjalani rutinitas salat berjamaah. "Kalau masih salat dianggap belum sempurna, jadi disindir-sindir ada yang masih salat," ujarnya ditemui di Kepolisian Daerah Metro Jaya, Kamis (25/2).
Pusat meditasi milik Anand ramai menjaring pengikut usai tragedi kerusuhan Mei 1998. Agung menuturkan, banyak masyarakat tertarik karena ajaran spiritual tersebut menawarkan ketenangan batin.
"Dibikin agar antaragama tidak bentrok. Tidak ada patok agama tertentu, menurut korban di Bali, ajarannya bukan hindu, tapi kehindu-hinduan," jelasnya.
Dalam ritual yang dijalankan, juga terdapat patung Anand Krishna yang nantinya akan disembah-sembah oleh para pengikutnya. "Pelecehan hanya entry gate untuk persoalan yang lebih serius. Ini ada penodaan agama," kata Agung.
Jumlah pengikut Anand mencapai ratusan orang dengan pengikut kelas elit sekitar 30 orang. Dari jumlah tersebut juga banyak yang memiliki loyalitas tinggi dan siap menyumbang dana besar hingga ratusan miliar rupiah. "Ada doktrinasi, dari CD, litelatur yang diberikan ke pengikutnya," kata dia.
Pihaknya juga telah meminta Dewan Pertimbangan Presiden untuk intervensi dalam persoalan ini. "Hari ini kami akan menemui Watimpres," tegas Agung.
Pengacara Tara: Anand Eksploitasi Harta Muridnya
INILAH.COM, Jakarta - Tuduhan miring terhadap spiritualis Anand Krishna (54) semakin melebar. Tak hanya pelecehan seksual dan penistaan agama saja, tudingan eksploitasi harta pun dituduhkan kepadanya.
Dari sekitar ratusan pengikut Anand di Indonesia, puluhan diantaranya masuk dalam kelompok elit yayasan itu. "Fanatiknya ada 30-an orang, dia elitenya," kata Pengacara korban pelecehan seksual Anand, Tara Pradipta Laksmi (19), Agung Mattauch, di Polda Metro Jaya, Jakarta, Kamis (25/2).
Berawal dari menawarkan memberikan meditasi untuk ketenangan diri dan pluralisme, lanjut Agung, Anand memanfaatkan yayasannya untuk melakukan doktrinasi bermacam-macam kejahatannya.
"Eksekutif yang menjadi murid Anand bahkan bangga jadi sopir Pak Anand," katanya.
Lebih jauh dia menjelaskan, awal mulanya ajaran Anand banyak diminati orang pasca kerusuhan Mei 1998 silam. Dia memberikan ketenangan dan pluralisme kepada muridnya
itu, pasca penjarahan dan kerusuhan saat itu.
Agung mengatakan bahwa Anand bukanlah seorang keturunan India, yang memeluk agama Hindu. "Dia kehindu-hinduan," tutupnya.
Pelapor Anand Krishna Mengadu ke Wantimpres
"Jam 16.00 akan ketemu Wantimpres. Bertemu Pak Jimly untuk jelaskan permasalahan."
VIVAnews - Tak hanya melapor ke Komisi Perempuan dan Polda Metro Jaya, para pelapor juga akan mengadukan Anand Krishna ke Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres).
"Jam 16.00 akan ketemu Wantimpres. Bertemu Pak Jimly Asshiddiqie untuk menjelaskan duduk permasalahan. Kami juga akan membawa para korban," kata pengacara pelapor, kata Agung Mattauch di Polda Metro Jaya, Kamis 25 Februari 2010.
Sebelumnya, Agung mengatakan pihaknya punya bukti baru yakni rekaman video dan buku berjudul 'Penggal Kepalamu dan Persembahkan pada Sang Murshid' karya Maya Safira Muchtar.
"Dari buku itu, murid yang baik harus rela menyerahkan diri pada gurunya. Bukti-bukti itu sudah kita serahkan pada polisi," tambah Agung.
Sementara, bukti video diduga berisi indoktrinasi di hadapan sekitar 20 orang, termasuk anak-anak di bawah umur. Video itu mengajarkan murid harus menuruti keinginan guru.
Selain dugaan pelecehan seksual, Agung mengatakan Anand Krishna diduga melecehkan agama dengan ajaran sinkretisme-nya.
"Korbannya, seorang guru di Bali berinisial TS (26). Dia tak lagi menjalankan ajaran agamanya. Sudah tidak lagi menjadi pemeluk Hindu," kata dia.
"Dikatakan Anand Krishna adalah dewa sesungguhnya," kata dia.
Sementara, Anand membantah tuduhan yang diarahkan kepadanya, termasuk soal dugaan pelecehan seksual.
"Itu tidak benar," kata dia dalam peluncuran buku Youth Challenges and Empowerment' di wantilan DPRD Bali, Kamis, 25 Februari 2010.
Anand dalam acara itu sempat menyanjung moderator, Santi Sastra.
"Saya didampingi moderator yang sangat cantik. Boleh nggak saya bilang cantik ke kamu, nanti dibilang pelecehan lagi," katanya sambil tertawa dan mendapat tepukan keras dari ratusan peserta yang hadir.
"Lalu kalau saya bilang 'I Love You Angel', apa saya juga dikatakan melakukan pelecehan," lanjut Anand.
Namun, Anand tak bisa diwawancara lebih lanjut. Para pengawalnya menghalangi wartawan yang ingin mewawancarainya.
Pengacara: Anand Diduga Melecehkan Agama
Ada dua bukti baru yang diajukan para pelapor Anand, rekaman video dan sebuah buku.
VIVAnews - Pengacara korban dugaan pelecehan seksual Anand Krishna, Agung Mattauch mengatakan bukti yang disampaikan pihaknya sudah cukup kuat untuk memanggi Anand Krishna.
"Ada saksi-saksi, ada keterangan ahli dan bukti-bukti lainnya. Ditambah ada tiga orang lagi yang melapor," kata Agung di Polda Metro Jaya, Kamis 25 Februari 2010.
Ditambahkan Agung, pihaknya juga punya buki baru yakni rekaman video dan buku berjudul 'Penggal Kepalamu dan Persembahkan pada Sang Murshid' karya Maya Safira Muchtar.
"Dari buku itu, murid yang baik harus rela menyerahkan diri pada gurunya. Bukti-bukti itu sudah kita serahkan pada polisi," tambah Agung.
Sementara, bukti video diduga berisi indoktrinasi di hadapan sekitar 20 orang, termasuk anak-anak di bawah umur. Video itu mengajarkan murid harus menuruti keinginan guru.
Selain dugaan pelecehan seksual, Agung mengatakan Anand Krishna diduga melecehkan agama dengan ajaran sinkretisme-nya.
"Korbannya, seorang guru di Bali berinisial TS (26). Dia tak lagi menjalankan ajaran agamanya. Sudah tidak lagi menjadi pemeluk Hindu," kata dia.
"Dikatakan Anand Krishna adalah dewa sesungguhnya," kata dia.
Sementara, salah satu murid Anand, Ibu Yogo juga menddatangi Polda. Dia hanya ingin memberi dukungan pada Tara dan pelapor lainnya.
"Saya murid paling pertamanya yang keluar. Saya keluar karena diejek, sudah lima tahun ikut Anand tapi masih menjalankan salat," kata dia.
Menurutnya, yang paling tahu keadaan sebenarnya adalah orang-orang yang pernah ngikutin ajarannya.
Sebelumnya, Anand membantah tuduhan yang diarahkan kepadanya, termasuk soal dugaan pelecehan seksual.
"Itu tidak benar," kata dia dalam peluncuran buku Youth Challenges and Empowerment' di wantilan DPRD Bali, Kamis, 25 Februari 2010.
Anand dalam acara itu sempat menyanjung moderator, Santi Sastra.
"Saya didampingi moderator yang sangat cantik. Boleh nggak saya bilang cantik ke kamu, nanti dibilang pelecehan lagi," katanya sambil tertawa dan mendapat tepukan keras dari ratusan peserta yang hadir.
"Lalu kalau saya bilang 'I Love You Angel', apa saya juga dikatakan melakukan pelecehan," lanjut Anand.
Anand Juga Menistakan Agama?
INILAH.COM, Jakarta - Spiritualis Anand Krishna yang dituduh melakukan pelecehan seksual, kini dituduh juga melakukan penistaan agama di Bali.
Anand yang memiliki cabang yayasan Anand Ashram di Bali, dituduh melakukan penistaan agama terhadap 2 muridnya. Dia melakukan brain wash (cuci otak) terhadap muridnya, untuk tidak mentaati ajaran agama Hindu.
"Menurut pengakuan korban, Anand mengatakan dewa sesungguhnya Anand Krishna," kata pengacara Tara, Agung Mattauch di Polda Metro Jaya, Jakarta, Kamis (25/2).
Salah satu korban penistaan agama Anand, seorang wanita berinisial Ts (26), "Mukanya mirip Tara," imbuh Agung.
Ts berprofesi sebagai guru Sekolah Dasar (SD), di Tabanan, Bali. Dia, kata Agung, saat hendak menikah bahkan meminta restu Anand tapi tak diizinkan Anand. "Ts sampai declare (deklarasi) tidak akan kawin dan mengabdi pada Anand."
Bahkan korban Anand di Bali selain dicuci otak, juga mendapat perlakuan pelecehan seksual. "Laporannya lebih parah lagi, bukan hanya dipegang-pegang, tapi dipaksa nonton adegan tidak pantas," ungkap Agung.
Ts dan korban satu lagi di Bali selama ini merasa takut, mengungkap kejahatan Anand karena malu membongkar aibnya. Namun kini mereka sudah terdorong keberaniannya, setelah melihat Tara melapor ke polisi. "Mereka mau buka posko juga di Bali," kata Agung. Rasa trauma korban tersebut juga sudah terobati, melalui cara tradisional secara adat Balian.
The Underestimated Power of Physical Communication
Source: www.nytimes.com
UNITED STATES, February 22, 2010: Psychologists have long studied the grunts and winks of nonverbal communication, the vocal tones and facial expressions that carry emotion. A warm tone of voice, a hostile stare — both have the same meaning in Terre Haute or Timbuktu, and are among dozens of signals that form a universal human vocabulary. But in recent years some researchers have begun to focus on a different, often more subtle kind of wordless communication: physical contact.
Momentary touches, they say — whether an exuberant high five, a warm hand on the shoulder, or a creepy touch to the arm — can communicate an even wider range of emotion than gestures or expressions, and sometimes do so more quickly and accurately than words. “It is the first language we learn,” said Dacher Keltner, a professor of psychology at the University of California, Berkeley. It remains, he said, “our richest means of emotional expression” throughout life.
In a series of experiments led by Matthew Hertenstein, a psychologist at DePauw University in Indiana, volunteers tried to communicate a list of emotions by touching a blindfolded stranger. The participants were able to communicate eight distinct emotions, from gratitude to disgust to love, some with about 70 percent accuracy. “We used to think that touch only served to intensify communicated emotions,” Dr. Hertenstein said. Now it turns out to be “a much more differentiated signaling system than we had imagined.”
Hindu Ashram A First For Omaha
Source: www.omaha.com
OMAHA, NEBRASKA, February 21, 2010: An orthodox Hindu ashram opened Saturday in Omaha. Frank Morales, 46, its spiritual director, described it as the first of its kind in the area. The Center for Dharma Studies, 13917 P St., will offer classes on topics such as yoga, Hindu scripture and spirituality, Morales said.
The ashram is designed to be an educational resource. Its activities are open to all. Those of other faiths are not excluded, Morales said, and there will be no attempt to convert them.
“There is so much anxiety because of the economy, the wars taking place… the idea is basically to show people that, by applying spirituality in their life in a very practical way, they can begin to relieve much of the anxiety they are feeling,” he said.
Ramayana Casts Its Ancient Spell In Singapore
Source: www.nytimes.com
SINGAPORE, February 3, 2010: The Ramayana has been one of the great epic poems of Indian culture for centuries. It has also captured the imagination of many other cultures beyond its origins in India. In Southeast Asia, scenes from the Ramayana can be found in places ranging from Prambanan, a 9th-century Hindu temple compound in Yogyakarta in central Java, Indonesia, to the magnificent 12th-century Angkor Wat in Cambodia.
“Ramayana Revisited: A Tale of Love & Adventure,” an exhibition that is running at the Peranakan Museum, Singapore until Aug. 22, underlines the cross-cultural power of the popular epic.
While some of the artifacts that are shown are ancient and quite rare, like a 12th-century bronze Hanuman from the late Chola period in the Indian state of Tamil Nadu, or a 12th-to-13th century bas-relief from the state of Madhya Pradesh of a reclining image of Vishnu on cosmic snake, others — especially shadow puppets and masks — are more recent. Some have been commissioned by the museum over the past 15 years.
Ancient Hindu Temples Unearthed in Perfect Condition in Indonesia
Source: www.nytimes.com
YOGYAKARTA, INDONESIA, February 24, 2010: ILast August when the private Islamic University of Indonesia decided to build a library next to the mosque. In the two decades the university had occupied its 79-acre campus outside Yogyakarta, no temple had ever been found. But chances were high that they were around. By Dec. 11, a construction crew had already removed nearly seven feet of earth. But the soil proved unstable, and the crew decided to dig 20 inches deeper. A backhoe then struck something unusually hard. The crack the backhoe left on the temple wall would become the main sign of damage on what experts say could be the best-preserved ancient monument found in Java, a Hindu temple.
Researchers from the government’s Archaeological Office in Yogyakarta headed to the campus the next day, excavated for 35 days and eventually unearthed two 1,100-year-old small temples. “The temples are not so big, but they have features that we haven’t found in Indonesia before,” Herni Pramastuti, who runs the Archaeological Office, said, pointing to the rectangle-shaped temple, the existence of two sets of linga and yoni, and the presence of two altars.
Historians believe that Hinduism spread in Java in the fifth century, followed three centuries later by Buddhism. Kingdoms hewing to both Hindu and Buddhist beliefs flourished in Java before Islam in the 15th century. But Islam itself incorporated beliefs and ceremonies from the other two religions. Just as some unearthed temples in east Java have a Hindu upper half and a Buddhist lower half, some early mosques had roofs in the shape of Hindu temples, said Timbul Haryono, a professor of archaeology at Gadjah Mada University here and an expert on Hinduism in Southeast Asia. Early mosques faced not in Mecca’s direction, but west or east in the manner of Hindu temples.
“Things didn’t change all of a sudden,” Mr. Haryono said. “Islam was adopted through a process of acculturation.” In Indonesia’s arts, like the wayang shadow puppetry that dramatizes Hindu epics, or in people’s private lives, traces of the earlier religions survive, he said. Food, flowers and incense still accompany many funerals for Muslims, in keeping with Hindu and Buddhist traditions. “Hinduism was Indonesia’s main religion for 1,000 years,” he said, “so its influence is still strong.” “This is Indonesia,” said Suwarsono Muhammad, an official at the Islamic University. In the long history of Indonesia, we have proven that different religions can live peacefully.”
Sabtu, 27 Februari 2010
Inspiration
Protecting India’s Folk Lore and Traditions
INDIA, February 16, 2010: In 1997 M.D. Muthukumaraswamy, along with 15 others including Komal Kothari, the then Director of Rajasthan Institute of Folklore started the National Folklore Support Centre (NFSC), when they observed that the country lacked a national level organization for folklore. “We knew everything about European folklore and arts but had no knowledge about our own diverse folklore heritage. There was no body that could address issues in the discipline at the national level. Our education system too imparted no knowledge about these folk forms.” It was amidst these necessities that NFSC came to be.
Today the organization, which occupies a small office space in a weathered complex on Mahatma Gandhi Road, Nungambakkam, is like an anthropologist’s treasure trove. It aims at promoting Indian folklore research, education, training, networking, and publications.
In Tamil Nadu alone, there are 534 oral epic traditions. The Ramayana and Mahabharatha are just the tip of the iceberg,” exclaims Muthukumaraswamy.
Yamuna Today Is What Thames Was 150 Years Ago
Source: www.dailypioneer.com
NEW DELHI, INDIA, February 17, 2010: The river Yamuna, having been declared dead with its water all poisonous from 22 drains from all over Delhi feeding 800 million gallons of sewage into it per day, can kill a healthy human being. It’s the rapid industrialization that is helping the inevitable pollute to the river, pointed out Robert Oates, Director, Thames Rivers Restoration Trust (TRRT), and the industrial revolution of India is 10 times that of England when it took place.
“It is not just Government’s but every citizen of Delhi’s responsibility to make sure that the river’s cleanliness is restored and its purity revived,” he said.
In a presentation, the TRRT detailed how the whole Thames river restoration project was undertaken. The Yamuna today is what London’s Thames was 150 years ago, with all its water polluted almost irrevocably. It seemed impossible to restore it to its natural state, but good governance brought life back to the river.
India Supreme Court Directive On Religious Structures
Source: www.expressbuzz.com
NEW DELHI, INDIA, February 17, 2010: The Supreme Court has directed all the State Governments and Union Territories to come out with a clear policy with regard to the demolition or regularization or relocation of religious structures in public places, public parks, play grounds, roads, etc within six weeks.
A Bench comprising Justice Dalveer Bhandari and Justice K. S.
Radhakrishnan also directed the Chief Secretaries to expressly
disclose the number of unauthorized religious structures in each
state.
Declare Nepal A Hindu State, Students Tell Government
Source: www.thehimalayantimes.com
KATHMANDU, NEPAL, February 21, 2010: The Free Students’ Union (FSU), Balmiki Campus, today demanded that Nepal be declared a Hindu state. Issuing a press statement, FSU demanded that ancient religions, norms and values of the Nepali society be preserved.
“We’ll not be able to accept secular state,” the statement said, adding that the culture of the country is not resembled through this declaration. The statement mentioned that the Hindu religion is the identity of the country and it should be protected at all cost.
The statement urged the concerned agencies to protect the national identity and to ensure the future of people living in the country. The statement further stated that the Hindu religion is the backbone of the country and demanded the concerned bodies to go for referendum to take the decision regarding the issue.
Renungan Saraswati: Cerdas dan Bijaksana
SARASWATI penting dimaknai, bukan sekadar dirayakan. Hari turunnya ilmu pengetahuan itu penting dimaknai agar umat menyadari bahwa memberi penerangan kepada sesama merupakan yadnya utama. Memberi penerangan itu bisa berbentuk peningkatan kualitas SDM melalui iptek, keterampilan dan moralitas (spiritualitas). Dengan demikian SDM kita tak hanya memiliki kecerdasan intelektual, juga berbudi luhur atau bijaksana.
Gede Rudia Adiputra mengatakan medana punia untuk kepentingan pendidikan merupakan salah satu bentuk yadnya. Sehingga, mereka yang putus sekolah bisa mengenyam pendidikan. ''Ini merupakan implementasi pelaksanaan yadnya mulia. Pemberian dana BOS kepada siswa oleh pemerintah juga salah satu bentuk pengejawantahan yadnya,'' katanya.
Mereka yang sudah mengenyam pendidikan, juga mesti terus meningkatkan pengetahuannya. Ibarat air yang terus mengalir, demikian ilmu pengetahuan terus berkembang. Karena itu jika umat tidak ingin ketinggalan iptek, mesti terus belajar.
Kata Rudia, berbakti kepada Dewi Saraswati -- manifestasi Tuhan sebagai penguasa ilmu pengetahuan, tidak cukup berhenti pada perayaan semata. Perlu dilanjutkan dengan implementasi. Mengendalikan diri untuk mendapatkan keheningan sehingga mampu memberi vibrasi terhadap lingkungan sekitar, sesungguhnya umat telah berbakti kepada Dewi Saraswati.
Di samping itu, umat juga mesti menyadari pencapaian ilmu pengetahuan setinggi-tingginya itu sangat penting, tetapi penggalian nilai-nilai kearifan lokal juga penting. Sebab, dari kearifan lokal itu bisa digali pesan-pesan moral.
Siswa atau mahasiswa penting memiliki rasa rendah hati menerima iptek dari guru atau dosen. Sebab, orang yang sombong cenderung tidak akan bijak, kendati ia mampu menguasai iptek dengan gemilang. Demikian juga para pendidik dan pengajar, dalam menularkan ilmu pengetahuan kepada siswa atau mahasiwa mesti dilandasi cinta kasih dan ketulusan, di samping mampu menunjukkan keteladanan.
Dengan selalu memahami tuntunan Saraswati, umat diharapkan tidak tergelincir pada hal-hal yang dilarang olah hukum dan agama. Sebab, Saraswati itu menuntun umat agar bisa membedakan mana yang baik dan mana yang tidak baik, mana yang boleh dan yang tidak boleh. Dengan memahami tuntunan itu, umat akan bisa menghindari ''Panca Ma'' -- mamotoh, mamadat, mamunyah, mamitra dan mamaling. ''Jadi, dalam merayakan hari keagamaan seperti Saraswati, umat tidak sekadar bakti formal -- sekadar datang merayakan, tetapi di balik itu mesti mampu melaksanakan tuntunan Saraswati,'' katanya.
Keesokan harinya setelah Saraswati, umat melaksanakan banyu pinaruh yang mengandung makna bahwa setelah umat menguasai iptek, kaweruhan itu mesti dimanfaatkan dengan baik. Dalam prosesi itu umat tidak sekadar mandi di sumber-sumber air, tetapi mohon kepada Dewi Saraswati agar diberkati kebijaksanaan serta ilmu pengetahuan yang diperoleh mampu sebagai penerang dalam kehidupan.
Sumber: BALI POST ONLINE, Sabtu Umanis, 10 Nopember 2007
Jumat, 26 Februari 2010
Inspiration
Celebrating Holi In USA Preschools, Schools And The Office
Source: www.i-newswire.com
UNITED STATES, February 22, 2010 - Bloggermoms, a website that celebrates life and parenting at the intersection of multiple cultures, today released a package of ideas for celebrating Holi in schools, preschools and the workplace. The package contains ideas for crafts and celebrations in the classroom, hosting a Holi party for kids, precautions to keep in mind when celebrating Holi and even ideas to bring Holi into the office in a respectful yet fun way.
Holi, the festival of colors is one of India’s most colorful, vibrant and fun festivals. It is a celebration of spring and of the victory of good over evil. For most people, it is all about smearing colored powders or spraying colored water on each other. Holi is also celebrated in the USA and other parts of the world with large expat populations within friends and communities.
Schools and preschools interested in multicultural education or parents interested in bringing a little bit of their culture into the classrooms often look for ideas for celebrating Holi which are culturally appropriate, yet easier to manage and clean up in a class room environment. The article on ideas for celebrating Holi in schools and preschools is available at http://www.bloggermoms.com/celebrating-holi/
In New Zealand, Worshiping Lord Vishnu’s Chakram
Source: www.indianweekender.co.nz
NEW ZEALAND, February 13, 2010: The Sri Balaji Temple Project which is the first of its kind in New Zealand held its first prayers and conducted the Sudharsana Homan on 23rd January, 2010 at the Phoenix Hall in Hamilton. Secretary Bala Bhaskar Tikkisetty welcomed the hundreds of devotees present.
The Maha Sudharsana Homan, is performed for Lord Vishnu’s Chakram, the Lord’s most powerful weapon against all evil. In performing the Homan the powers of the Lord and Sudharsana Chakra are invoked through vedic mantras. The Yantra, a metal piece with Vedic and holy symbols is blessed in the Homan and are normally placed at the home altar or at the entrance of houses to ward off evil.
International Bali-India Yoga Festival II
Source: Press Release
BALI, INDONESIA, February 2010: Bali-India Foundation will be organizing the second International Bali-India Yoga Festival from 3-10 March, 2010. The theme of the festival is ‘Yoga & Global Warming’. Bali, which has an ancestral relationship with India, shares a great concern about Global Warming. Bali, the Island of the Gods, where the sage Markandeya meditated and taught this divine practice of yoga to its people is a perfect place to discuss and find a solution to the problem of Global Warming and other various matters related to yoga.
The opening of this prestigious festival will simultaneously inaugurate ‘The Markandeya Yoga City’ at Gunung Sari, Singaraja, Bali. The Yoga city will be completed within five years on a total of 15 hectares of land surrounded by beautiful forests and mountains 1000 meters above sea level in a Balinese architectural style.
Balinese Hindus Gear Up For New Year
Source: www.thejakartapost.com
JAKARTA, INDONESIA, February 17, 2010: Thousands of people across Bali have been busy making the giant ogoh-ogoh effigies in preparation for the celebrations of the upcoming Caka Hindu New Year 1932, popularly known as Nyepi, or the Day of Silence. The event falls on March 16. Local resident Wayan Chandra said making the ogoh-ogoh helps strengthen communal relation among neighbors. “It’s a collective work by all villagers,” he said.
The ogoh-ogoh are giant papier-mache demons that symbolize all things bad. Every banjar, or traditional village community, must prepare at least one ogoh-ogoh for each Nyepi. On the eve of the Caka New Year, Balinese Hindus parade them along the streets and burn them together to dissipate any negative energy.
The Caka New Year is observed in total quiet and contemplation. The entire island falls into darkness on the night, as the Hindu faithful are prohibited from lighting a fire or using electricity, or even leaving home. Virtually all activities will come to a halt for 24 hours, including tourism offices and the airport, while the streets will be deserted.
Kamis, 25 Februari 2010
Mutiara Bhagavad-Gita
Di sini tak dapat dibedakan bentuk asli Pohon ini, juga tidak akhir, asal, dan dasarnya. Tertancap kuat pohon Ashvattha ini. Tebaslah pohon ini sampai tumbang dengan senjata ketidakterikatan.
Dengan begitu dikau akan meniti jalan ke mana tak ada jalan kembali, dan dengan begitu dikau akan mencapai Yang Maha Utama Yang dari-Nya terpancar keluar Proses Kosmos ini (energi yang telah ada semenjak masa yang amat silam).
Sayang manusia tidak melihat atau menyadari Pohon ini secara keseluruhannya, dan tak mengerti akan kepentingan pohon ini. Manusia lebih terserap kepada daun-daunnya, pada buah-buah dan putik-putiknya, dengan kata lain manusia terjebak pada rasa manis dan kenikmatan yang dikeluarkan pohon ini dan langsung terjebak di dalamnya, dalam ilusi duniawi. Pohon ini sendiri tampaknya tidak bermula dan tak ada akhirnya; siapa pula yang akan pernah tahu akan asal-mulanya dan akhirnya? Bukankah Pohon ini berasal dari Sang Maya? Tetapi Sang Maya ada asal dan akhirnya, yaitu Yang Maha Pencipta. Sedangkan Sang Maya atau pohon Kehidupan ini sebenarnya hanyalah pantulan atau ilusi. Dan selama kita sibuk berkelana di hamparan luasnya pohon kehidupan ini, selama itu juga kita akan tersesat di dalamnya tanpa jalan keluar karena begitu luas dan banyaknya jalan-jalan yang salah di dalamnya seakan-akan tanpa akhir. Maka di seputar itu juga kita akan berkelana tanpa pernah tahu akan hal-hal yang berada di luar itu, yaitu Sang Empunya pohon ini. Jalan satu-satunya untuk keluar dari pohon ini adalah menebasnya sama-sekali dan jalan atau metode ke arah penebasan ini adalah dengan menebas rasa keterikatan duniawi kita secara total dan pasrahkan hasilnya kepada Yang Maha Esa, dan Dia akan menyelamatkan kita semua dan menyatukan yang menebas pohon kehidupan ini, dengan-Nya. Jalan ketidakterikatan duniawi ini berulang-ulang ditekankan dalam Bhagavad-Gita karena inilah faktor yang amat vital untuk menyadari atau menyingkap kebodohan kita, agar terbuka ilmu pengetahuan yang sejati, ilmu tentang arti dan hakekat dari kehidupan yang sebenarnya, agar tercapai kesatuan antara kita dengan-Nya, yang menjadi tujuan utama mengapa kita dilahirkan sebagai manusia yang berakal-budi, tidak seperti ciptaan-ciptaan yang lainnya yang berbentuk fauna, flora dan benda-benda tak bergerak. "Seseorang yang dirinya tak terikat pada obyek-obyek luar, mendapatkan kebahagiaan yang ada di dalam dirinya sendiri," kata Bhagavad-Gita, dan lagi, "Seseorang yang telah melepaskan semua keinginan, dan hidup bebas dari keterikatan, mendapatkan ketenangan."
Bupati Sidoarjo Meminta Konghucu Dimunculkan Dalam KTP
Sidoarjo (ANTARA News), 25 Februari 2010 - Bupati Sidoarjo, Win Hendrarso, Rabu, berharap agama Konghucu dimunculkan lagi dalam kolom pilihan formulir pengajuan Kartu Tanda Penduduk (KTP).
"Kami sudah meminta Kementerian Dalam Negeri untuk memunculkan kembali agama Konghucu dalam kolom pilihan agama pemohon KTP," katanya di Sidoarjo.
Menurut dia, hilangnya agama Konghucu dalam blanko permohonan KTP disebabkan masih dipakainya blanko lama yang menggunakan Sistem Informasi Manajemen Kependudukan (Simduk). Padahal saat ini sistem tersebut sudah diganti menjadi Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK).
"Jadi di dalam blanko atau form F1.01 yang ada 31 item untuk pengajuan KTP memang hanya disebutkan ada lima agama, yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan sisanya lain-lain," katanya.
Di Kabupaten Sidoarjo, kasus ini mulai terkuak ketika Ketua Presidium Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (Matakin), Bingky Irawan, yang juga warga Sidoarjo hendak memperpanjang KTP.
"Pada saat saya hendak memperpanjang KTP, oleh petugas kecamatan disodori blanko. Dalam blanko itu ternyata pilihan agama Konghucu sudah tidak ada," katanya.
Ia sempat mempertanyakan masalah itu kepada Dinas Kependudukan setempat. "Namun tidak bisa memberikan jawaban memuaskan terkait raibnya blanko pengisian untuk agama Konghucu," katanya.
Ia juga menghimbau kepada warga yang beragama Konghucu untuk menuliskan agama Konghucu pada KTP masing - masing. "Saya berharap kejadian seperti ini tidak terulang lagi di kemudian hari," katanya.
Selain itu, pihaknya juga akan mendirikan posko pengaduan bagi umatnya yang tidak mendapatkan pelayanan publik. "Kami akan segera membuka posko di klenteng maupun di sekretariat di daerah untuk mengumpulkan semua umat yang tidak mendapat pelayanan di tingkat kabupaten atau kota," katanya.
Menurut dia, pembukaan posko ini juga bertujuan untuk mengetahui berapa jumlah umat Konghucu di tiap kota atau kabupaten.
"Selama ini umat Konghucu merasa takut. Sehingga ketika ditanya agamanya apa, mereka bilangnya Budha," katanya mengungkapkan.
Selain itu, pihaknya berharap dengan adanya sensus penduduk yang akan diselenggarakan Mei mendatang, dapat diketahui jumlah pemeluk agama Konghucu di Indonesia.
Luthfi Assyaukanie:Toleransi Kita Rendah
Ada kelompok yang menuding Luthfi Assyaukanie kelompok penista agama.
VIVAnews, 20 Februari 2010 - Pro dan kontra uji materi Undang-undang Penodaan Agama masih berlanjut. Kasus ini terus berkembang hingga ada kelompok yang menuding Jaringan Islam Liberal (JIL) dan LSM pendukung pencabutan UU/PNPS/1965 sebagai kelompok yang menistakan agama Islam.
Wartawan VIVAnews, Dian Widianarko mewawancarai aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL) yang Juga Deputi Direktur Freedom Institute Luthfi Assyaukanie, terkait pro kontra itu setelah dirinya menyebut kesalahan Lia Eden sama dengan kesalahan Nabi.
Dalam persidangan uji materi di Mahkamah Konstitusi, pada Rabu 17 Febuari 2010 lalu, Luthfi menyebutkan bahwa toleransi kita rendah sekali.
Dalam sidang itu, Luthfi diundang sebagai saksi ahli dari pihak pemohon dan dia memaparkan sejarah agama. Menurutnya dalam sejarah setiap agama baru selalu dimusuhi dan tidak diterima agama mayoritas.
Apa yang dipaparkan Luthfi rupanya disalahpahami banyak orang dan berakibat banyak yang beranggapan Luthfi menyamakan Lia dengan sosok Nabi Muhammad. Itu dianggap melecehkan, meskipun Luthfi tidak bermaksud demikian.
Ancaman pun datang kepada aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL) itu,
bahkan sampai muncul ancaman pembunuhan.
Seperti apa ancaman itu dan bagaimana sebenarnya kesaksiannya di MK yang dipermasalahkan, berikut wawancara VIVAnews dengan Deputi Direktur Freedom Institute itu di kantornya, Jumat 16 Desember 2010.
1. Kesaksian Anda pada persidangan menjadi polemik dan membuat
beberapa pihak marah pada Anda. Apa yang sebenarnya terjadi?
Kemarin itu, sebenarnya tidak ada yang kontroversial sih, kalau kita mau berfikir dingin. Setiap kali saya ngomong di forum yang banyak orang garis kerasnya di situ, orang sudah apriori duluan. Sudah begitu dikompori pula.
Saat saya selesai bicara ada tanya jawab yang panjang sekali dan yang paling keras itu dari pengacara MUI dan DDII. Mereka salah paham dan saya kira mereka sengaja salah paham untuk mengompori.
Saya kan bilang negara jangan ikut campur soal agama karena masalah
agama itu rumit sekali. Bagaimana kita mau menganggap satu agama sesat
dan yang lain tidak. Biarkan saja yang nyesat-nyesatin antara agama sendiri, negara tidak usah ikut campur.
Saat ngomong soal sejarah agama itu yang agak krusial. Sebagai saksi
ahli dan bicara soal sejarah agama, saya bicara dan memandang agama
dari sudut pandang historis.
Sebagai seorang beragama sudah pasti dan jelas, saya menghormati Nabi Muhammad. Nah karena di situ saya diundang jadi ahli, jadi saya memandang sejarah Islam sama dengan sejarah sekte-sekte atau agama lain.
Nah saya katakan mengapa negara sakit hati dan melarang Lia Aminudin,
karena dia menyebarkan agama baru. Walau pun kesalahan Lia berlapis-lapis, karena katanya ada ajarannya yang perlu diamankan, misalnya beri ajaran yang melecehkan orang, saya gak tahu persis, tapi tuduhannya seperti itu.
Tapi kan dasarnya Lia dimusuhi oleh mayoritas karena ada sesuatu yang
bermasalah yaitu karena dia mengaku rasul, mengaku jibril dan itu
menantang agama mayoritas, Islam, karena dinilai berbeda dengan
mayoritas.
Maka saya jelaskan di situ bahwa semua agama, semua nabi yang muncul itu dicaci maki oleh mayoritas.
2. Pihak yang marah karena Anda menjadikan Nabi Muhammad contoh dan menyamakan dengan kasus Lia Aminuddin, apa benar begitu?
Saya bilang, nabi dulu itu dianggap gila, dan itu ada di Al Quran, nabi
dilempari kotoran unta dan lain-lain. Pengikutnya juga dikejar-kejar. Itu kan sama persis dengan apa yang dialami Lia Aminuddin.
Maksud saya, kita ini seperti orang Quraish dan orang jahiliah yang memerangi kaum minoritas. Saya sengaja mengambil contoh ekstrim seperti itu biar tergugah lah.
Kalau nabi kita dulu diperlakukan seperti itu, kita mau gak orang lain diperlakukan seperti itu? Kalau kita gak mau nabi kita diperlakukan seperti itu, ya kita jangan begitu pada orang. Selama orang itu tidak melakukan kekerasan.
3. Tapi mereka salah paham dengan apa yang anda katakan di MK, dan kabarnya mereka mengancam anda?
Oh ya. Kalau ancaman kan sudah biasa. Dulu waktu mendirikan JIL kan
juga banyak ancaman.
4. SMS, email. Kalau yang ancaman saat ini apa bentuknya?
Sama. Seperti ini (menyodorkan print out email ancaman). Email sms itu
ke email saya. Yang paling keras bahkan mengatakan; penggal kepalanya,
trus tancapkan di ujung Tugu Monas, biar semua orang tahu penghina
Nabi Muhammad SAW telah dieksekusi…!
5. Kalau ancaman fisik secara langsung atau via telepon?
Mudah-mudahan jangan. Emang enak apa dipukul orang..hahahaha. Telepon belum. Karena saya sengaja tidak angkat telpon yang tidak saya kenal.
6. Keluarga anda juga diancam?
Nggak, kalau kejadian ini baru.
7. Bagaimana perasaan anda menghadapi ancaman-ancaman itu?
Khawatir sih khawatir, tapi tidak terlalu mengambil serius. Karena dulu
sih sudah sering. Ulil (Ulil Absar Abdallah) juga sering mendapat
ancaman seperti ini.
8. Dulu seperti apa yang pernah anda alami?
Kalau dulu awal-awal mendirikan JIL sih sering saya disamperin orang
waktu habis solat jumat, nyamperin dan marah-marah.
Itu sih biasa, walaupun ngeri. Kita kan tidak tahu ukuran kemarahan seseorang. Saya saat ini lebih sering menghindari dan mencari tempat-tempat yang aman saja. Saya menghindari hal-hal seperti itu.
9. Apa anda akan menindak lanjuti ancaman itu, melapor ke polisi misalnya?
Saya belum menyikapi serius. Kalau ancamannya semakin serius kita akan
tindak lanjuti.
Potensi kekerasan sih ada, saya bisa merasakan. Minggu pertama waktu
sidang kan saya sama Ulil di balkon kita hampir dikepung.
Kalau tidak ada polisi mungkin sudah terjadi kekerasan. Tapi buru-buru diamanin polisi. Karena itu, kemarin waktu selesai acara saya langsung masuk
lewat pintu belakang pintu hakim dan diamankan polisi.
10. Dari kejadian yang sering anda alami, dan terakhir kasus MK itu, apa yang kemudian terpikir oleh anda?
Toleransi kita itu rendah sekali. Mulanya kan dari situ. Kalau kita
tidak toleran terhadap keyakinan lain, kemudian yang muncul kedengkian,
kebencian, dan pada tingkat selanjutnya yang muncul kemarahan.
Nah saya melihat bukan hanya audien, bahkan orang-orang yang terhormat
yang di dalam sidang, dari Depag, dari MUI dari DPR, bahkan hakim.
Beberapa yang terhormat itu tendensius. Harusnya kan nggak boleh hakim seperti itu. Hakim kan harusnya mendengarkan kesaksian ahli.
Pokoknya dia mendengarkan saja. Masak pas giliran saya semua hakim kecuali, ketuanya, mengomentari saya dan komentarnya agak memojokkan. Harusnya kan diam saja.
11. Seperti apa komentar yang memojokkan anda itu?
Misalnya mereka menanyakan pada saya apa pandangan saya soal atheisme,
dan lainnya. Kayak mau memojokkan. Mencecar gitu. Sebenarnya buat saya
sih nggak ada masalah, saya bisa jawab itu, cuma saya mencium
hakim-hakim ini ada pandangan ideologis tertentu juga. Kecuali
ketuanya Pak Mahfud yang sangat cemerlang.
12. Kembali ke belakang, sebenarnya bagaimana sejarah masuknya uji meteri UU ini ke MK?
Ini sudah dua tahun ya, dulu Gus Dur yang mengajukan. Gus Dur, Mas
Dawam (Dawam Raharjo) Mbak Musdah (Musdah Mulia). Di antaranya
alasannya, karena banyaknya kekerasan atas sekte-sekte agama,
Ahmadiyah kususnya.
Kan Ahmadiyah tidak diakui sebagai sekte Islam. UU PNPS itu diskriminatis, berpotensi memicu kekerasan karena dipakai oleh kelompok tertentu dan dibenarkan kelompok mayoritas untuk menekan kelompok minoritas. Ini yang menimbulkan adanya rasa ketidakadilan di tengah masyarakat.
13. Menurut anda, bagaimana nasib uji materi ini?
Kalau saya sih pesimis bisa berhasil. Karena saya lihat hampir semua
elemen pemerintah menolak. Tapi ini kemarin saya katakana di MK; saya tidak terlalu peduli dengan hasilnya. Tetapi ini adalah proses demokrasi yang harus dihormati.
Bahwa sekelompok orang merasa UU ini bertentangan dengan konstitusi, MK harus mengujinya. Kalau kemudian orang-orang tidak bisa menerima, dan kita kalah, tapi kita sudah melakukan sesuatu.
Ahli: Penodaan Agama Tidak Konkret
"Jika dinyatakan bersalah ini tidak bisa dilihat."
VIVAnews, 24 Februari 2010 - Penodaan agama seperti diatur dalam Undang-Undang (UU) Penodaan Agama dinilai tidak konkret. Sehingga, UU tersebut pun dinilai bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM).
Hal ini dikatakan ahli Billah saat memberikan keterangan dalam sidang uji materiil UU Penodaan Agama di Mahkamah Konsitusi (MK), Rabu 24 Februari 2010. Billah dihadirkan pemohon uji materiil itu.
Billah menyatakan UU ini tidak secara tegas memberikan penjelaskan tentang perbuatan penodaan agama. "Jika dinyatakan bersalah ini tidak bisa dilihat," kata dia.
Dia pun menilai agama itu bukan sosok. "Agama bisa dianggap sebagai sistem kepercayaan," kata dia. Karena agama tidak nyata secara fisik, kata dia, sulit membuktikan jika ada penodaan.
Keterangan Billah itu mendapat reaksi keras dari kuasa hukum pihak terkait, Luthfi hakim. Secara tegas Lutfi mempertanyakan keterangan Billah yang menyatakan bahwa agama itu abstrak.
Permohonan uji materi ini diajukan oleh beberapa lembaga dan perseorangan. Mereka adalah almarhum Abdurrahman Wahid, Musdah Mulia, Dawam Rahardjo, dan Maman Imanul Haq. Sementara lembaga yang mengajukan uji materi adalah Imparsial, Elsam, PBHI, Demos, Perkumpulan Masyarakat Setara, Desantara Foundation, dan YLBHI.
Para pemohon berdalil beberapa pasal dalam UU ini diskriminatif. Sebab, UU ini merupakan pengutamaan terhadap enam agama yang diakui di Indonesia, yaitu Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu dan mengecualikan beberapa agama dan aliran keyakinan lainnya yang juga berkembang.
Langganan:
Postingan (Atom)